Misi Kaum Muslimin Menaklukkan Tanah Palestina

20.05 Posted In Edit This 0 Comments »

Meski penaklukan ini merupakan misi peperangan, akan tetapi dalam Islam peperangan hanyalah alternatif terakhir dalam menegakkan dakwah tauhid. Sebagaimana menurut Syaikh Ali bin Hassan Al-Halabi, ketika menyampaikan ceramah di Masjid Istiqlal Jakarta, 15-Ferbruari-2006M, beliau mengatakan, peperangan dalam Islam bukanlah perang permusuhan, akan tetapi perang penebusan : peperangan untuk menebarkan sendi-sendi kasih sayang. Membunuh musuh bukanlah tujuan utama dan pertama, akan tetapi itu merupakan pilihan terakhir. Tawaran pertama adalah memeluk agama Islam, kedua adalah membayar upeti dan ketiga adalah tidak mengganggu kaum Muslimin.

Begitulah cara dakwah yang dilancarkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada kaum kuffar, sangat elegan dan beradab. Tak terkecuali, ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru para raja dan penguasa di tanah Arab dan sekitarnya, yaitu terlebih dahulu menawarkan Islam, dengan cara mengutus delegasi

Sebagai salah satu contohnya, yaitu ajakan Rasulullah kepada Raja Hiraklius. Sahabat Dihyah mendapat kepercayaan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan surat beliau, yang berbunyi.

Bismillahir Rahmanir Rahim
Dari Muhammad utusan Allah kepada Hiraklius, Pembesar Romawi.
Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk.
Sesungguhnya saya menyeru anda dengan misi Islam. Peluklah Islam, niscaya anda akan selamat. Dan Allah memberikan dua pahala bagi anda. Bila anda berpaling, maka anda menanggung dosa orang-orang Arisiyyin.

Katakanlah : “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun, dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling, maka katakanlah kepada mereka. Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)” [Ali-Imran : 64]

Begitulah, Islam datang saat Palestina dalam genggaman Kerajaan Romawi Nashara. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam mengirimkan beberapa ekspedisi pasukan untuk menaklukan Palestina, yang dahulu menjadi bagian negeri Syam. Berikut adalah kronologis upaya mengambil tanah penuh berkah tersebut dari tangan Kerajaan Romawi Nashara.

PENAKLUKAN PALESTINA PADA MASA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Pengiriman Pasukan Ke Mu’tah Pada Tahun 8H
Yang menjadi penyebab perang Mu’tah [1] ini, karena utusan Rasulullah yang membawa risalah kepada Raja Romawi atau Bashra dibunuh oleh Syurahbil bin Amr Al-Ghassani, salah seorang pembesar Romawi. Pengiriman pasukan ini terjadi pada bulan Jumadil Akhir, tahun 8H. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat Zaid bin Al-Haritsah sebagai komandan pasukan. Beliau berpesan, jika Zaid gugur, maka (beralih) ke Ja’far. Bila Ja’far gugur, maka (beralih) ke Abdullah bin Rawahah [2]

Pada penyerangan tersebut, pasukan kaum Muslimin yang dikirim berjumlah 3000 orang. Sementara Raja Hiraklius mempersiapkan 100 ribu pasukan, dengan di dukung oleh Malik bin Zafilah yang membawa 100 ribu orang dari kalangan Nashara Arab.

Melihat kekuatan musuh sedemikian besar, maka kaum Muslimin mengadakan musyawarah, untuk meminta tambahan pasukan kepada Rasulullah.

Abdullah bin Rawahah menggelorakan semangat mereka dengan berkata : “Wahai sekalian manusia. Sesungguhnya yang kalian cari ada di hadapan kalian –yaitu mati syahid-. Kita tidak memerangi dengan dukungan jumlah pasukan atau kekuatan. Kita tidak memerangi mereka kecuali karena agama ini, yang Allah telah memuliakan kita dengannya. Bergegaslah. Akan ada salah satu kebaikan (yang diraih), kemenangan atau mati syahid”.

Orang-orang pun menyetujuinya. Akhirnya, terjadilah peperangan yang sangat dahsyat antara kedua belah pihak

Satu persatu, orang-orang yang ditunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai pemimpin pasukan menjumpai syahadah di medan perang. Khalid bin Al-Walid lah yang kemudian mengambil alih bendera dan memimpin pasukan kaum Muslimin. Dan Allah memberikan kemenangan bagi kaum Muslimin pada perang ini.

Meskipun terjadi perbedaan besar antara jumlah pasukan kaum Muslimin dan kaum kuffar, tetapi tidak banyak para sahabat yang gugur dalam peperangan tersebut. Berdasarkan keterangan para ahli sirah, mereka menyebutkan, yang gugur kurang lebih sepuluh orang saja. Kemenangan ini menjaga batu loncatan untuk menyerang pasukan Romawi pada masa selanjutnya, dan sangat efektif menggetarkan hati orang-orang kafir tersebut.

Perang Tabuk Tahun 9H
Dalam perang ini, tidak jadi pertempuran. Begitu mendengar kedatangan kaum Muslimin, pasukan Romawi, segera menarik diri sampai ke wilayah Syam. Sehingga kaum Muslimin berada di sana untuk menjalin ikatan perdamaian dengan suku-suku setempat, dengan memberlakukan jizyah pada mereka.

Pengiriman Pasukan Pimpinan Usamah Bin Zaid Tahun 11H
Pengiriman pasukan ini sebagai tindak lanjut pengiriman pasukan sebelumnya yang dipimpin sang ayah Usamah bin Haritsah. Beliau memerintahkan agar pasukan Usamah ini diberangkatkan. Perintah ini terjadi saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada pada masa-masa wafatnya. Saat pasukan ini sampai di daerah Jurf, terdengar khabar bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia. Sehingga untuk sementara misi penyerangan ditunda, sampai kemudian terpilihlah Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu sebagai Khalifah. Dan sang Khalifah ini yang kemudian melanjutkan misi tersebut dengan tetap mengangkat Usamah bin Zaid sebagai pemimpin pasukan.

PENAKLUKAN SYAM SETELAH NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM WAFAT.

Memberangkatkan Pasukan Usamah bin Zaid Ke Syam
Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu selaku khalifah, beliau tetap bertekad merealisasikan pengiriman pasukan Usamah yang sudah dipersiapkan Rasulullah menuju Syam. Dengan berjalan kaki, beliau mengantarkan pasukan ini dan memberikan beberapa pesan kepada sang komandan.

Pasukan Usamah ini bergerak menuju daerah Balqa, yang mencakup Mu’tah. Di sana, pasukan ini memerangi sejumlah orang dari suku Qadha’ah yang murtad, dan berhasil memukul mereka. Setelah tujuh puluh hari sejak pemberangkatannya, pasukan ini kembali ke Madinah.

Pengaruh dari keberhasilan pasukan ini, menyebabkan para musuh merasa gentar dan ketakutan. Mereka tetap meyakini, bahwa kaum Muslimin masih berada dalam kekuatan penuhnya, meskipun Rasulullah telah wafat. Sehingga kaum kuffar mengurungkan niat untuk melakukan penyerangan.

Pasukan Abu Ubaidah Bin Al-Jarrah Radhiyallahu ‘Anhu.
Setelah menyelesaikan misi pasukan Usamah bin Zaid, selanjutnya Khalifah Abu Bakar juga mengirimkan beberapa pasukan untuk menyerang Syam. Panglima-panglima pasukan yang beliau tunjuk adalah Abu Ubaidah, Yazid bin Abi Sufyan, Amr bin Al-Ash dan Syarahbil bin Hasanah. Jumlah pasukan mereka kurang lebih 40 ribu jiwa.

Dalam perjalanan, sebagian pasukan menghadapi serangan dari musuh. Yazid bin Abu Sufyan menghadapi tentara Romawi, dan meraih kemenangan atas musuhnya. Sementara Amr bin Al-Ash dan Syarahbil bin Hasanah menghadapi pasukan Romawi yang lain di Ajnadin Palestina. Mereka berhasil memaksa musuh untuk mundur sampai ke Al-Quds.

Selanjutnya, kaum Muslimin harus menghadapi Romawi yang telah menghimpun pasukan secara besar-besaran, jauh lebih besar dari jumlah pasukan Muslimin di bawah pimpinan saudara Hiraklius, yaitu Theoderik. Jumlah mereka 200 ribu pasukan. Oleh karenanya, Amr bin Al-Ash mengusulkan agar seluruh pasukan kaum Muslimin disatukan di Yarmuk.

Perang Yarmuk Tahun 13H
Begitu Khalifah Abu Bakar mengetahui bahaya yang mengancam dengan besarnya jumlah pasukan musuh, beliau Radhiyallahu ‘anhu memutuskan agar Khalid bin Al-Walid dengan setengah pasukannya yang di Irak, untuk membantu pasukan kaum Muslimin yang berada di Syam. Dengan kegesitan dan kecekatannya, pasukan Khalid bin Al-Walid berhasil melintasi padang pasir ganas dalam waktu yang singkat, kemudian bergabung dengan pasukan Muslimin di Yarmuk. Saat itu, kepemimpinan pun berpusat pada satu orang, yaitu Khalid bin Al-Walid

Peperangan yang sangat hebat ini, juga diikuti oleh tidak kurang seratus sahabat Nabi yang ikut dalam perang Badar. Kaum Muslimin benar-benar menunjukkan keberaniannya untuk berkorban di jalan Allah. Seorang sahabat yang bernama Ikrimah bin Abi Jahal gugur di sana.

Ribuan orang dari kalangan Nashara tewas. Sementara Hiraklius melarikan diri di akhir peperangan, meninggalkan kota Anthakiyah dan Suriah untuk terakhir kalinya. Berita kemenangan kaum Mulimin di Yarmuk, dibarengi dengan wafatnya Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, yang kemudian digantikan oleh Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu ‘anhu

PENAKLUKAN SYAM PADA MASA UMAR BIN AL-KHATHTHAB RADHIYALLAHU ‘ANHU.

Penaklukan Damaskus Tahun 14H
Abu Ubaidah bermusyawarah dengan Khalifah Umar, mengenai tujuan penaklukan selanjutnya, Damaskus ataukah wilayah Yordania. Sang Khalifah mengisyaratkan untuk mengarahkan pasukan ke Damaskus terlebih dahulu. Maka, kaum Muslimin mengepung kota tersebut selama enam bulan. Khalid menyerang melalui sisi timur. Sementara Abu Ubaidah berhasil memasukinya dengan jalan damai dari sisi Jabiyah. Dan akhirnya kaum Muslimin berhasil menaklukannya.

Selanjutnya, kaum Muslimin dengan dipimpin Syarahbil bin Hasanah menuju kota Fahl, dan berhasil memukul mundur pasukan Romawi

Penaklukan Kota Himsh, Humat, Ladziqiyah Dan Halab
Abu Ubaidah dan pasukan bergerak menuju Himsh dan mengepungnya. Jalan perdamaian menjadi akhir peperangan ini. Begitu pula, kota Humat dan Halab, masuk dalam pangkuan Islam melalui cara damai. Sementara Ladziqiyah, terpaksa ditaklukkan dengan jalan kekerasan. Setelah penduduknya memilih cara itu.

Penaklukan Kota Anthakiyah
Anthakiyah, adalah ibukota Imperium Romawi di wilayah timur. Heraklius telah meninggalkannya. Maka, Abu Ubaidah mengepungnya dan takluk melalui jalan damai.

Sementara itu, Amr bin Al-Ash mulai merangsek menuju bumi Palestina. Setelah kekalahan di Ajnadin, komandan Romawi mundur dan berlindung di benteng-benteng Baitul Maqdis. Kaum Muslimin membidik kota-kota yang berada di pantai Rafah. Begitu pula dengan Ghaza, Nablus, Amwas, Yafa berhasil ditaklukan oleh kaum Muslimin.

Baitul Maqdis Berada Dalam Kekuasaan Kaum Muslimin
Setelah itu, Amr bin Al-Ash menuju wilayah Baitul Maqdis dan mengepungnya dalam jangka waktu yang lama. Tatkala penduduk Baitul Maqdis mengetahui batapa kuatnya pengepungan yang dilakukan kaum Muslimin, dan sebaliknya betapa lemahnya mereka untuk menghalau kaum Muslimin, lantaran wilayah-wilayah di pantai telah ditaklukkan, maka mereka mengajukan perdamaian. Dengan syarat, agar Khalifah Umar sendiri yang menanganinya. Maka beliau datang dan menulis ketetapan perdamaian bagi Al-Quds dan menerima kunci-kuncinya.

Demikianlah, penaklukan Syam berhasil tuntas di masa Khalifah Umar bin Al-Khaththab.

Maraji.
[1]. Ashrul Khilafatir-Rasyidah, Dr Akram Dhiya Al-Umari, Maktabah Al-Obaikan. Cet. III, Th. 1422H
[2]. Al-Khulafaur Rasyidin wad Daulatul Umawiyah, Wizarah Ta’lim Ali. Cet V/Th.1413H
[3]. Al-Jihad an Nabawi fi Fhilasthin, Abu Anas Muhammad Musa Alu Nashr, Majalah Al-Ashalah. Edisi 30, Th V.
[4]. Mukhtashar Siratir Rasul, Syaikh Muhammad bin Abdil Wahhab, tahqiq Hana Muhammad Jazamati Darul Kitabi Arabi, Beirut, Libanon, cet VI dan Th 1421H

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi Khusus 07-08/Tahun X/1427H/2006M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Rabu, 30 April 2008 14:20:38 WIB

MISI KAUM MUSLIMIN MENAKLUKKAN TANAH PALESTINA

Oleh
Muhammad Ashim Mustofa
_________
Footnotes
[1]. Sekarang Mu;tah masuk wilayah Yordania
[2]. HR Al-Bukhari no. 4260-4261
[3]. Ashrul khilafatir Rasyidah, hal. 370-375
Selengkapnya...

Menimbang Pernyataan Bebas Memilih Agama

19.54 Posted In Edit This 0 Comments »

Muncul di tengah kita pemikiran yang menyatakan bahwa semua agama sama. Hingga akhirnya, orang pun memiliki hak kebebasan untuk menentukan agamanya, berpindah-pindah keyakinan, bahkan menciptakan agama baru, dan seterusnya. Pernyataan yang juga diusung kaum liberal ini, kemudian dihubungkan pula dengan dalih hak asasi manusia dan kebebasan dalam memeluk suatu agama dan kepercayaan

Bagaimanakah sesungguhnya kebenaran pernyataan ini? Berikut ini kami angkat risalah Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan. Kami terjemahkan dari Kitab Al-Bayan Li Akhtha'i Ba'dhil-Kuttab, Cetakan Darubnil-Jauzi (2/66-68). Semoga bermanfaat.

Sesungguhnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penutup para nabi. Tidak ada nabi setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga haru kiamat.

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi…”[Al-Ahzab : 40]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Dan aku merupakan penutup para nabi, tidak ada nabi setelahku” [HR Tirmidzi]

Syari’at beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga merupakan penutup syari’at. Tidak ada syari’at yang menyamainya, dan tidak ada syari’at baru setelahnya hingga hari kiamat.

Allah berfirman.

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam” [Ali-Imran : 19]

“Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi” [Ali-Imran : 85]

Islam, artinya menyerahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mentauhidkan dan tunduk kepadaNya dengan mentaatiNya, dan berlepas diri dari kesyirikan serta pelakunya. Islam dengan makna seperti inilah yang dibawa semua rasul. Jadi, Islam ialah mentauhidkan Allah, mentaati para rasulNya, dan mengamalkan syari’at yang diberlakukan pada zamannya. Aqidah para nabi itu satu (sama), yaitu mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan syariatnya berbeda-beda, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan syariat yang sesuai dengan masanya.

“Untuk tiap-tiap umat di antara kami, Kami berikan aturan dan jalan yang terang” [Al-Ma’idah : 48]

“Bagi taip-tiap masa ada kitab (yang tertentu). Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisiNya-lah terdapat Ummul kitab (Lauh Mahfudz)’[Ar-Ra’d : 38-39]

Apabila suatu syari’at sudah dihapus, maka wajib mengamalkan syari’at baru yang menghapusnya. Tidak boleh mengamalkan syariat yang telah dihapus. Karena mengamalkan yang telah dihapus bukan ibadah, tetapi hanya mengikuti hawa nafsu dan setan. Dan syari’at Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan penghapus bagi semua syari’at terdahulu. Karena itu, wajib mengamalkannya dan meninggalkan syari’at lainnya, karena semua sudah terhapus.

Syari’at Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencakup semua yang bisa memberi kebaikan kepada manusia, di setiap tempat dan segala keadaan.

“Pada hari ini, telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-ku, dan telah Aku ridhai Islam itu menjadi agamamu” [Al-Maidah : 3]

Yang dimaksud dengan kalimat “Islam” dalam ayat ini, ialah dien (agama) Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena setelah pengangkatan beliau sebagai Rasul. Istilah Islam digunakan pada syari’at yang dibawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai utusan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada semua manusia.

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya” [Saba’ : 28]

“Katakanlah :”Hain manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua…” [Al-A’raf : 158]

Oleh karena itu, seseorang yang tetap bertahan dengan agama-agama terdahulu, seperti Yahudi dan Nasrani atau lainya, berarti ia menjadi orang yang ingkar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena tidak berada di atas agama yang diperintahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk diikuti, yaitu agama Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Hai Rasul, sampaikan apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu: [Al-Maidah : 67]

Setelah itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim surat kepada para raja di muka bumi untuk mengajanya masuk Islam, mengikuti beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan membebankan atas mereka tanggung jawab ittiba’ jika mereka tetap kufur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengirim para utusan ke pelbagai penjuru dunia.

Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa sallam mengirim Mu’adz bin Jabal ke Yaman, seraya bersabda.

“Engkau akan mendatangi sebagian kaum Ahli Kitab, maka hendaklah yang pertama kali engkau dakwahkan, ialah syahadat Lailaha Illallah dan Muhammad itu Rasulullah” [Al-Hadits]

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

“Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka Jahannam. Dan itulah tempat kembali yang seburuk-buruknya” [At-Taubah : 73]

Maka, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bergegas melaksanakan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam memimpin tentara dan membentuk pasukan untuk berjihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kemudian para sahabat setelah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan jihad ini, sehingga berhasil menaklukkan dunia bagian timur dan barat. Dan agama Allah memperoleh kemenangan, meskipun orang-orang musyrik membenci.

Sehingga, berdasarkan uraian di atas, maka perkataan “bebas memilih agama” merupakan perkataan bathil. Perkataan ini akan mengakibatkan terhapusnya syariat jihad fi sabilillah, padahal Allah Azza wa Jalla berfirman.

“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi, dan (sehingga) agama itu hanya untuk Allah belaka” [Al-Baqarah : 193]

Juga memiliki konsekwensi, tidak perlu dikirimkan Rasul dan diturunkan Kitab untuk memerintahkan (manusia) beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata. Juga berarti, tidak boleh membunuh orang murtad yang diperintahkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam agar dibunuh, (sebagaimana) dalam sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Orang yang menggantikan agamanya, maka bunuhlah dia” [HR Al-Bukhari]

Yang melontarkan perkataan ini, hanyalah golongan penganut ‘wihdatul-wujud’ . Mereka berpendapat bahwa semua yang disembah ialah Allah Azza wa Jalla Maha Tinggi Allah dari ucapan mereka. Perkataan ini kemudian bertemu dengan perkataan orang-oran musyrik ketika diperintahkan oleh para nabi mereka untuk beribadah kepada Allah Azza wa Jalla semata dan meninggalkan semua sesembahan yang lain, mereka berkata.

“Dan mereka berkata : “Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) ilah-ilah kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwaa’, Yaghuts, ya’uq dan Nasr” [Nuh : 23]

“Mengapa ia menjadikan ilah-ilah itu ilah yang satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan” [Shad : 5]

Adapun firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)” [Al-Baqarah : 256]

Yang dijadikan pegangan oleh para pengusung pendapat ini tanpa alasan yang haq, maka ayat tersebut tidak seperti yang mereka inginkan.

Al-Iman Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
Allah Azza wa Jalla berfirman : “Maksudnya surat Al-Baqarah ayat 256 yaitu, kalian jangan memaksa seseorang untuk memasuki Islam”

Maksudnya sangatlah jelas, tidak perlu memaksa seseorang masuk Islam. Akan tetapi, orang yang diberi petunjuk Allah Azza wa Jalla, dan dilapangkan dadanya untuk menerimanya, serta hatinya disinari, maka ia akan masuk Islam. Sedangkan orang yang dibutakan mata hatinya, pendengaran dan penglihatannya ditutup oleh Allah Azza wa Jalla, maka tidak ada gunanya memaksanya masuk Islam. Para ulama menyebutkan ayat ini turun pada sekelompok orang Anshar, meskipun hukum ayat ini bersifat umum.

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
Sebagian ulama berpendapat, pengertian ayat ini dibawakan kepada para ahli kitab dan orang yang mengikuti agama mereka sebelum terjadi perubahan dan pergantian. Jika mereka sudah membayar jizyah (artinya, orang kafir yang telah membayar jizyah ini, jangan dipaksa masuk Islam, -red). Sementara itu, sebagian ulama lainnya mengatakan, bahwa ayat ini telah dimansukh (dihapus hukumnya dan diganti,-red) dengan ayat yang memerintahkan untuk berperang, dan wajib mendakwahi semua umat manusia agar masuk ke dalam agama Islam yang lurus ini. Jika ada di antara manusia yang tidak mau masuk Islam, tidak mau tunduk kepadanya, dan juga tidak mau membayar jizyah, maka ia diperangi sampai terbunuh. Selesai perkataan Ibnu Katsir rahimahullah

Syaikh Abdur Rahman As-Sa’diy mengatakan, dalam firman Allah Azza wa Jalla surat Al-Baqarah ayat 256 ini, sebagai penjelasan mengenai kesempurnaan agama ini. Karena kesempurnaan bukti-buktinya, kejelasan ayat-ayatnya, juga karena keberadaan Islam itu sebagai agama (yang sesuai dengan) akal, ilmu, fitrah, hikmah, agama kebaikan dan yang mengadakan perbaikan, agama yang haq dan agama petunjuk. Karena kesempurnaannya ini, juga karena diterima oleh fithrah, maka tidak perlu memaksa manusia masuk Islam. Karena pemaksaan itu ada hanya pada sesuatu yang tidak disenangi hati, bertentangan dengan hakikat dan kebenaran, atau pda sesuatu yang tidak jelas bukti dan tanda-tandanya.

Jika tidak demikian, maka orang yang telah sampai padanya dien ini lalu dia menolaknya, tidak menerimanya, maka itu dikarenakan oleh pembangkangannya. Karena sudah jelas perbedaan antara petunjuk dan kesesatan. Sehingga, tidak ada alasan dan argumen menolak Islam.

Makna ini, tidak bertentangan dengan banyak ayat yang menyerukan kewajiban jihad. Karena Allah Azza wa Jalla mewajibkan jihad, supaya semua dien (agama) itu hanya untuk Allah Azza wa Jalla, juga untuk menghalau kezhaliman para pelakunya. Dan kaum muslimin sepakat, bahwa jihad itu tetap ada bersama dengan pemimpin yang baik dan zhalim. Itu termasuk yang difardhukan secara terus menerus, jihad melalui ucapan ataupun perbuatan.

Jadi jelas, maksud firman Allah surat Al-Baqarah ayat 256, bukan membiarkan manusia tetap berada di atas agama kekufuran, kesyirikan ataupun menyimpang, karena Allah Azza wa Jalla menciptakan makhluk agar mereka beribadah kepada-Nya semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku” [Adz-Dzariyat : 56]

Baragsiapa yang tidak mau beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, maka orang itu diperangi, sehingga semua agama (ketaatan, -red) itu hanya untuk Allah Azza wa Jalla [1]

Demikianlah, kita memohon kepada Allah agar Dia menujukkan kepada kita kebenaran itu sebagai kebenaran, dan memberikan kepada kita kekuatan untuk mengikutinya, serta menujukkan kepada kita kebathilan itu sebagai sebuah kebathilan dan memberikan kekuatan untuk menjauhinya

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428H/2007M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Rabu, 14 Mei 2008 10:50:49 WIB

MENIMBANG PERNYATAAN BEBAS MEMILIH AGAMA

Oleh
Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al-Fauzan
_________
Footnotes
[1]. Dan hal ini tentu dengan memperhatikan syarat-syarat dan adab-adabnya sebagaimana dijelaskan oleh para ulama. Seperti harus adanya kemampuan dan telah sampainya dakwah kepada mereka. Wallahu a’lam. (-red)
Selengkapnya...

Kemana Menyekolahkan Anak ? : Bahaya Pendidikan Sekuler, Syubhat Dan Bantahan

19.49 Posted In Edit This 0 Comments »

BAHAYA PENDIDIKAN SEKULER
Yang dimaksud pendidikan sekuler ialah pendidikan yang tidak memperhatikan ilmu dienul Islam, atau tidak berasaskan Islam.

Adapun bahayanya banyak sekali, bahaya pengajarnya, materinya, dan pergaulannya.

Bahaya Pengajar
Pada umumnya pengajarnya tidak mengenal aqidah yang benar, atau bodoh terhadap ajaran Islam, dan boleh jadi mereka orang kafir atau musyrik atau orang yang memusuhi Islam, itu semua karena latar belakang pendidikan mereka sebelumnya.

Perhatikan dosen yang mengajar di perguruan tinggi agama Islam dan lainnya. Tentu hal ini akan berbahaya bila penuntut ilmu tidak memiliki aqidah dan syari’at Islam yang benar. Penuntut ilmu (mahasiswa) yang memiliki pengetahuan yang haq pun segan menegur kesalahan pengajarnya karena khawatir tidak lulus. Adapun siswa uang kuat imannya, tentu tidaklah betah bergaul dengan mereka karena Allah Azza wa Jalla menanamkan iman di hati mereka. Lihat surat Al-Hujurat : 7

Bahaya Materinya
Boleh jadi materi yang diajarkan termasuk perkara yang dilarang menurut ajaran Islam karena berkenaan dengan aqidah dan akhlak, atau membahayakan jasmani dan rohaninya. Maka siswa yang tidak mengenal ajaran Islam yang kaffah tentu sulit untuk menghukumi materi itu boleh dipelajari atau tidak.

Bahaya Pergaulan
Biasanya, pendidikan umum tidak memperhatikan pergaulan siswa dan siswinya, mereka bercampur menjadi satu tanpa ada hijab (pembatas,-red) yang menghalanginya, bahkan pengajarnya campur laki-laki dan wanita. Padahal melihat wanita yang bukan mahramnya hukumnya haram (lihat surat An-Nur : 30-31), apalagi bergaul bebas bertatap muka, sentuh-menyentuh, berkhalwat, dan bepergian tanpa mahram. Tentu dosanya lebih besar daripada manfaat ilmu yang diperolehnya. Perhatikan sekolah kedokteran dan perkuliahan di jurusan lainnya, zina mata, telinga, mulut, tangan, dan kaki, setiap hari menjemputnya. Siapakah yang bertanggung jawab bila musibah telah menimpa? Siapakah yang bertanggung jawab di akhiratnya?

Adapun bahaya lain, mereka akan meninggalkan menuntut ilmu dienul Islam dan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla karena mereka sibuk dengan ilmu duniawinya. Bahkan, boleh jadi akan memerangi Islam dan ulamanya.

SYUBHAT DAN BANTAHAN
Diantara syubhat (keragu-raguan, red) yang tersebar di kalangan masyarakat, mereka menyekolahkan anak ke sekolah umum dan melalaikan pendidikan aqidah shahihah sebagai berikut.

1). Mengikuti Orang-Orang Pada Umumnya.
Jiwa orang awam seperti terkena virus, kaidah mereka “yang ditiru banyak orang itulah yang baik”. Jika anak tidak masuk sekolah umum maka tidaklah dinamakan bersekolah, itulah aqidah mereka. Oleh karena itu, mereka berebut supaya anaknya diterima di sekolah negeri atau sekolah swasta yang berstatus disamakan –minimlahnya yang diakui-. Padahal prinsip “umumnya” tidak menjamin baik, dan itulah kenyataannya.

“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah …” [Al-An’am : 116]

2). Khawatir Tidak Dapat Pekerjaan
Seharusnya orang Islam khawatir apabila dia dan anaknya tidak bisa menuntut ilmu dienul Islam dan tidak memiliki aqidah yang shahihah karena nikmat ini tidak semua orang meraihnya, berbeda dengan kenikmatan berupa rezeki, semua hamba-Nya –yang beriman ataupun kafir- dijamin pasti menerimanya (lihat surat Hud : 6), apalagi mereka mau menuntut ilmu dien dan bertaqwa, niscaya Allah Azza wa Jalla membuka rezekinya dari langit dan bumi (lihat surat Al-A’raf : 96) dan niscaya Allah mengangkat derajatnya (lihat surat Al-Mujadilah : 11).

3). Orang Islam Harus Kaya
Prinsip “orang Islam harus kaya” bukanlah tujuan hidup orang yang beriman, akan tetapi prinsipnya orang kafir. Tujuan hidup yang benar adalah beribadah kepada Allah Azza wa Jalla (lihat surat Adz-Dzariyat : 56). Agama Islam tidak melarang orang menjadi kaya, akan tetapi meninggalkan pendidikan Islam untuk mencari kekayaan adalah merusak aqidah dan moral (lihat surat At-Takatsur : 1) dan Al-Humazah : 1-2), bahkan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak khawatir apabila umatnya miskin, akan tetapi khawatir bila umatnya kaya

Dari Abu Ubaidah Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Maka demi Allah, tidaklah aku khawatir bila kamu itu fakir, akan tetapi aku khawatir bila kamu dilapangkan urusan duniawimu sebagaimana orang sebelummu, lalu kamu berlomba-lomba mengejarnya seperti mereka, lalu kamu hancur seperti mereka” [HR Bukhari 2924, Muslim 5261]

4). Kemunduran Kaum Muslimin Karena Faktor Ekonomi
Kami tidak mengigkari bahwa ekonomi penunjang kekuatan kaum muslimin sebagaimana kekuatan kaum muslimin sebagaimana disebutkan di dalam surat Al-Anfal : 60. Akan tetapi, semata-mata mengejar urusan dunia tanpa dilandasi aqidah yang benar, tidaklah memakmurkan Islam, justru sebaliknya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan kehancuran kaum muslimin karena umatnya ambisi dunia, bukan karena mengejar ilmu Sunnah.

Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Apabila kamu senang jual beli dengan sistem ‘inah (membeli secara kredit lalu dijual tunai kepada penjual dengan harga lebih murah) dan kamu sibuk dengan memegang ekor sapimu dan kamu lebih menyukai kebunmu, dan kamu tinggalkan jihad, maka Allah akan menimpakan kehinaan pada dirimu, Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak mencabut kehinaan ini sehingga kamu berpegang kepada agamamu” [HR Abu Dawud : 303, lihat Ash-Shahihah : 11]

Hadits ini menjawab syubhatnya hizbiyyin dan harakiyyin yang punya prinsip seperti di atas, mereka ingin mengajak umat untuk meraih izzah, tetapi dengan cara menghinakan umat

Akhirnya semoga kita semua senantiasa mendapat perlindungan dan hidayah-Nya.

[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi I, Tahun VI/Sya'ban 1427/2006. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]

Sabtu, 17 Mei 2008 13:28:35 WIB

KEMANA MENYEKOLAHKAN ANAK?-3/3-


Oleh
Al-Ustadz Aunur Rofiq Ghufron
Selengkapnya...

Hakikat Jihad

19.06 Posted In Edit This 0 Comments »

Jihad merupakan puncak kekuatan dan kemuliaan Islam. Orang yang berjihad akan menempati kedudukan yang tinggi di surga, sebagaimana juga memiliki kedudukan yang tinggi di dunia

Secara umum, hakikat jihad mempunyai makna yang sangat luas. Yaitu, berjihad melawan hawa nafsu, berjihad melawan setan, dan berjihad melawan orang-orang fasik dari kalangan ahli bid’ah dan maksiat. Sedangkan menurut syara’ jihad adalah mencurahkan seluruh kemampuan untuk memerangi orang kafir. [Lihat Fathul Bari 6/77]

Sehingga dapat disimpulkan, jihad itu meliputi empat bagian :
Pertama : Jihad melawan hawa nafsu
Kedua : Jihad melawan setan
Ketiga : Berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan pelaku kemungkaran.
Keempat : Jihad melawan orang-orang munafik dan kafir

Jihad melawan hawa nafsu, meliputi empat masalah :
Pertama : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mencari dan mempelajari kebenaran agama yang haq.
Kedua : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mengamalkan ilmu yang telah didapatkan.
Ketiga : Berjihad melawan hawa nafsu dalam mendakwahkan ilmu dan agama yang haq.
Keempat : Berjihad melawan hawa nafsu dengan bersabar dalam mencari ilmu, beramal dan dalam berdakwah.

Adapun berjihad melawan setan dapat dilakukan dengan dua cara :
Pertama : Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan yang berupa syubhat dan keraguan yang dapat mencederai keimanan
Kedua : Berjihad melawan setan dengan menolak setiap apa yang dilancarkan setan dan keinginan-keinginan hawa nafsu yang merusak.

Sedangkan berjihad melawan orang-orang fasik, pelaku kezhaliman, pelaku bid’ah dan pelaku kemungkaran, meliputi tiga tahapan. Yaitu dengan tangan apabila mampu. Jika tidak mampu, maka dengan lisan. Dan jika tidak mampu juga, maka dengan hati, yang setiap kaum muslimin wajib melakukannya. Yaitu dengan cara membenci mereka, tidak mencintai mereka, tidak duduk bersama mereka, tidak memberikan bantuan terhadap mereka, dan tidak memuji mereka. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

“Tiga perkara ; barangsiapa yang pada dirinya terdapat tiga perkara ini, maka dia akan mendapatkan kelezatan iman ; Allah dan RasulNya lebih dicintai daripada yang lainnya, ia mencintai seseorang hanya karena Allah dan dia benci kembali kepada kekafiran setelah diselamatkan oleh Allah darinya, sebagaimana ia benci dilemparkan ke dalam neraka” [HR Bukhari dan Muslim]

“Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan tidak memberi karena Allah, maka dia berarti telah sempurna imannya” [HR Abu Dawud]

“Barangsiapa membuat perkara yang baru atau mendukung pelaku bid’ah, maka dia terkena laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia” [HR Bukhari dan Muslim]

Berjihad melawan orang fasik dengan lisan merupakan hak orang-orang yang memiliki ilmu dan kalangan para ulama yaitu dengan cara menegakkan hujjah dan membantah hujjah mereka, serta menjelaskan kesesatan mereka, baik dengan tulisan ataupun dengan lisan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan : “Yang membantah ahli bid’ah adalah mujahid” [Lihat Al-Fatawa 4/13]

Syaikhul Islam juga mengatakan : “Apabila seorang mubtadi menyeru kepada aqidah yang menyelisihi Al-Qur’an dan Sunnah, atau menempuh manhaj yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah, dan dikhawatirkan akan menyesatkan manusia, maka wajib untuk menjelaskan kesesatannya, sehingga orang-orang terjaga dari kesesatannya dan mereka mengetahui keadaannya” [Lihat Al-Fatawa 28/221]

Oleh karena itu, membantah ahli bid’ah dengan hujjah dan argumentasi, menjelaskan yang haq, serta menjelaskan bahaya aqidah ahli bid’ah, merupakan sesuatu yang wajib, untuk membersihkan ajaran Allah, agamaNya, manhajNya, syari’atNya. Dan berdasarkan kesepakatan kaum muslimin, menolak kejahatan dan kedustaan ahli bid’ah merupakan fardu kifayah. Karena seandainya Allah tidak membangkitkan orang yang membantah mereka, tentulah agama itu akan rusak. Ketahuilah, kerusakan yang ditimbulkan dari perbuatan mereka, lebih berbahaya daripada berkuasanya orang kafir. Karena kerusakan orang kafir dapat diketahui oleh setiap orang, sedangkan kerusakan pelaku bid’ah hanya diketahui oleh orang-orang alim.

Adapun berjihad melawan orang fasik dengan tangan, maka ini menjadi hak bagi orang-orang yang memiliki kekuasaan atau Amirul Mukminin, yaitu dengan cara menegakkan hudud (hukuman) terhadap setiap orang yang melanggar hukum-hukum Allah dan RasulNya. Sebagaimana pernah dilakukan Abu Bakar dengan memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, Ali bin Abi Thalib memerangi orang-orang Khawarij dan orang-orang Syi’ah Rafidhah.

Bagaimana dengan berjihad melawan orang-orang munafik dan kafir ? Al-Imam Ibnu Qayyim menyatakan, jihad memerangi orang kafir adalah fardhu ‘ain ; dia berjihad dengan hatinya, atau lisannya, atau dengan hartanya, atau dengan tangnnya ; maka setiap muslim berjihad dengan salah satu di antara jenis jihad ini. [Lihat Zadul Ma’ad 3/64]

Akan tetapi, berjihad memerangi orang kafir dengan tangan hukumnya fardhu kifayah, dan tidak menjadi fardhu ‘ain, kecuali jika terpenuhi salah satu dari empat syarat berikut ini :

Pertama : Apabila dia berada di medan pertempuran.
Kedua : Apabila negerinya diserang musuh.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan ; “Apabila musuh telah masuk menyerang sebuah negara Islam, maka tidak diragukan lagi, wajib bagi kaum muslimin untuk mempertahankan negaranya dan setiap negara yang terdekat, kemudian yang dekat, karena negara-negara Islam adalah seperti satu negara” (Al-Ikhtiyarat : 311) Jihad ini dinamakan Jihad Difa’.
Ketiga : Apabila diperintah oleh Imam (Amirul Mukminin) untuk berperang.
Keempat : Apabila dibutuhkan, maka jihad menjadi wajib. [Lihat al-Mughni, Al-Majmu’, Zaadul Mustaqni]

Adapun disyariatkan jihad melawan orang kafir (dengan tangan), melalui tiga tahapan.

Pertama : Diizinkan bagi kaum muslimin untuk berperang dengan tanpa diwajibkan. Allah berfirman.

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” [Al-Hajj : 39]

Kedua : Perintah untuk memerangi setiap orang kafir yang memerangi kaum mulimin. Allah berfirman.

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas” [Al-Baqarah : 190]

Ketiga : Perintah untuk memerangi seluruh kaum musyrikin sehingga agama Allah tegak di muka bumi.

“Dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya ; dan ketahuiilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa” [At-Taubah : 36]

Tahapan yang ketiga ini tidak dimansukh, sehingga menjadi ketetapan wajibnya jihad sampai hari kiamat. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata : “Marhalah (tahapan) yang ketiga ini tidak dimansukh, tetap wajib sesuai dengan kondisi kaum muslimin” [Fadlu Al-Jihad Wal Mujahidin, 2 : 440]

Demikian secara singkat hakikat jihad berserta tahapan-tahapan perintah tersebut. semua ini harus dipahami oleh kaum muslimin, sehingga dalam menetapkan jihad, sesuai dengan keadaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi. Wallahu a’lam

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun IX/1426H/2005M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Senin, 26 Mei 2008 13:45:41 WIB

HAKIKAT JIHAD

Oleh
Ustadz Abu Qatadah
Selengkapnya...

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan

01.08 Posted In Edit This 0 Comments »

Silsilah Hadits-Hadits Dla'if Pilihan-1 (karya Syaikh al-Albany)
Jumat, 24 September 04

Mukaddimah

Mengingat hadits Dla’if (Lemah) sangat banyak terpublikasi di tengah masyarakat awam dan bahayanya bagi ‘aqidah serta keberagamaan mereka, maka kiranya perlu diantisipasi dengan membongkar dan menyingkap hadits-hadits tersebut serta menjelaskan derajat (kualitas) nya sehingga umat menjadi melek karenanya.

Salah satu upaya yang patut diacungi jempol dan mendapat sambutan positif di kalangan ulama Islam kontemporer, adalah buah karya dari Syaikh al-‘Allamah, Nashiruddin al-Albany atau yang lebih dikenal dengan Syaikh al-Albany. Yaitu, buku beliau yang berjudul Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah yang merupakan matarantai hadits-hadits Dla’if (lemah), yaitu yang dikategorikan Bathil, Tidak ada dasarnya, Tidak Shahih, Dla’îf Jiddan (Lemah Sekali), Munkar, Mawdlu’ (Palsu).


Dengan dimuatnya hadits-hadits tersebut diharapkan kepada kita agar menghindari penggunaannya dan mencukupkan diri dengan hadits-hadits yang shahih saja. Dalam hal ini, Syaikh al-Albany juga menulis buku yang lain yaitu Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah dimana selain hadits shahih yang dimuat di dalam kitab ash-Shahîhain (Shahîh al-Bukhary dan Muslim), beliau juga telah menyaring dan menyeleksi hadits-hadits yang shahih saja di dalam kitab-kitab selain itu alias as-Sunan al-Arba’ah.

Tentunya, setiap upaya dan niatan yang baik perlu kita junjung dan sanjung dengan selalu berdoa agar Allah menerima amal para pencetusnya. Adapun kesalahan dan kekeliruan, pasti akan ada sebab manusia tidak terlepas dari hal itu, karenanya pula perlu penyempurnaan lebih lanjut atas upaya-upaya yang telah dirintis oleh Syaikh al-Albany tersebut.

Dalam penyajian rubrik ini, kami tidak memuat semua apa yang ditulis dan dipresentasikan oleh Syaikh al-Albany di dalam bukunya tersebut, sebab akan terlalu panjang, di samping ada hal-hal yang bersifat teoritis hadits yang kiranya akan menyulitkan bagi orang awam dan pemula. Tujuan kami di sini, hanyalah ingin mengingatkan dan memberikan wawasan kepada para pembaca bahwa hadits-hadits tersebut adalah lemah (Dla’if) yang para ulama sepakat untuk tidak menjadikannya sebagai hujjah dalam agama, kecuali terkait dengan hadits-hadits Dla’if dalam hal Fadlâ`il al-A’mâl (amalan-amalan ekstra yang bernilai lebih/utama) yang memang ada di antara para ulama memberikan persyaratan-persyaratan tertentu untuk mengamalkannya.

Terlepas dari hal itu, setidaknya apa yang kami muat ini kiranya dapat menjadi bekal bagi para pembaca untuk lebih berhati-hati di dalam menjalankan agama dan barangkali juga bisa mengingatkan orang-orang yang belum mengetahuinya. Rasulullah SAW., bersabda, “Hendaklah orang yang hadir menyampaikan kepada yang tidak hadir (ghaib).”

Semoga amal ibadah dan niat kita senantiasa kita lakukan semata-mata untuk mendapatkan ridla-Nya dan bernilai ikhlash, amin.


1. HADITS PERTAMA

الدِّيْنُ هُوَ اْلعَقْلُ، وَمَنْ لاَ دِيْنَ لَهُ، لاَ عَقْلَ لَهُ

“Agama itu adalah akal, dan siapa yang tidak memiliki agama, maka berarti dia tidak berakal.”

KUALITAS HADITS

Kualitas hadits ini adalah BATHIL

Takhrij Singkat

Redaksi seperti ini dikeluarkan oleh Imam an-Nasa`iy di dalam kitab “al-Kuna” dan juga dikeluarkan darinya oleh ad-Dûlâby di dalam kitab “al-Kuna wa al-Asmâ`” dari Abu Malik, Bisyr bin Ghâlib bin Bisyr bin Ghâlib dari az-Zuhry dari Mujammi’ bin Jariyah dari pamannya secara marfu’ dengan tanpa dimulai dengan kalimat pertama di atas “ad-Dîn Huwa al-‘Aql” .

Pendapat Para Ulama Hadits

1. Imam an-Nasa`iy, “Ini adalah hadits Bathil dan Munkar.”
2. Ibn Hajar (ketika mengomentari lebih kurang 30-an hadits tentang keutamaan akal yang dikeluarkan oleh al-Hârits bin Abi Usâmah di dalam musnadnya) berkata, “Semuanya Mawdlu’”
3. Ibn al-Qayyim, “Hadits-hadits tentang akal semuanya adalah dusta.”

Komentar Syaikh al-Albany

Alasan kelemahan hadits ini adalah pada salah seorang periwayatnya yang bernama Bisyr karena dia seorang periwayat yang Majhûl (anonim) sebagaimana dikatakan oleh al-Azdy dan disetujui oleh Imam adz-Dzahaby di dalam kitabnya Mîzân al-I’tidâl Fî Naqd ar-Rijâl dan Ibn Hajar al-‘Asqalâny di dalam bukunya Lisân al-Mîzân.

Semua hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan akal tidak ada satupun yang shahih, sehingga berkisar antara kualitas Dla’if dan Mawdlu’ (Palsu). Hadits-hadits seperti ini banyak terkoleksi di dalam buku “al-‘Aql wa Fadl-luhu” karya Abu Bakar bin Abu ad-Dun-ya atau yang lebih dikenal dengan Ibn Abi ad-Dun-ya bahkan beliau mengkritik diamnya pentashih buku tersebut, Syaikh Muhammad Zâhid al-Kautsary atas riwayat-riwayat yang kualitasnya demikian.

(SUMBER: Silsilah al-Ahâdîts adl-Dla’îfah karya Syaikh al-Albany, no.1, h.53-54)



Selengkapnya...

Orang Nyeleneh dianggap sebagai Pembaharu

01.38 Posted In Edit This 0 Comments »

Fitnah yang menimbulkan kerancuan faham itu telah berlangsung lama dan secara internasional, sehingga para pembaharu yang pada hakekatnya adalah nyebal atau nyeleneh alias aneh bila dilihat dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, telah ditempatkan pada posisi yang seolah-olah mereka itu adalah Mujaddid, setarap dengan Mujtahid. Pengangkatan dan penempatan secara tidak sah itu justru disahkan dengan cara diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta ase-Indonesia, bahkan kemungkinan sedunia, terutama studi Islam di Barat. Bukan sekadar sampai tingkat sarjana namun sampai tingkat pasca sarjananya.Kriminalitas di jajaran keilmuan seperti ini tidak langsung bisa dihadang begitu saja, dan tak mudah diinterupsi. Mereka jalan terus dari waktu ke waktu secara sistematis kelembagaan, berkait berkelindan. Itu masih ditambahi dengan dukungan dan dekengan pemerintah lewat lembaga-lembaga lain, swasta yang mengadakan kerjasama entah itu penelitian atau pembelajaran dan sebagainya. Masih pula disebarkan lewat pencetakan buku-buku, penulisan karya-karya ilmiah, seminar, dan disebarkan lewat media-media massa, baik cetak maupun elektronik.

Bagaimana kaum revivalis, pemurni agama, dan pemegang teguh ajaran Islam yang punya ghirah Islamiyah mau mencegatnya, ketika kriminalitas telah menyusup secara sistematis di dunia keilmuan, pendidikan, dan struktur pemerintahan/ kelembagaan bahkan media massa?

Kriminalitas tidak boleh dibiarkan. Itu hukum di manapun dalam percaturan hidup ini. Dalam hal ini, bukan karena para tokoh yang punya pemikiran nyeleneh (aneh) itu sejak semula sosok orangnya merupakan musuh. Bukan. Tetapi karena pemikirannya yang dianggap berbahaya bagi kemurnian Islam, maka harus diambil tindakan. Dan masalahnya sudah menjadi dua:

Pertama pelontaran pemikiran yang tidak sesuai dengan Islam.

Kedua, para pelontarnya justru diposisikan sebagai pembaharu, yang dalam Islam disebut mujaddid, yang hal itu mendapatkan rekomendasi dari Rasulullah.

Jadi pencetus penyeleweng yang seharusnya dihukum, malah diposisikan sebagai orang terhormat, yaitu dianggap sebagai mujaddid/ pembaharu. Ini berarti sudah memutar balikkan perkara, yaitu penyeleweng ajaran Islam justru didudukkan sebagai pejuang dan pemikir Islam. Inilah kriminalitas yang cukup berbahaya, maka harus diadili.

Oleh karena itu umat yang punya kesempatan untuk mengadili, maka mereka melaksanakan pengadilan, di antaranya pengadilan atas Ali Abdul Raziq (Mesir) tahun 1925. Pengadilan itu dilakukan oleh tokoh-tokoh alim ulama Al-Azhar di bawah pimpinan almarhum Muhammad Abul Fadhal Al-Jiwazi dalam rapat khusus dengan 24 anggota alim ulama, tanggal 22 Muharram 1344H bertepatan dengan 12 Agustus 1925M.

Ali Abdul Raziq tiba dan mengucapkan Assalamu’alaikum, tetapi tak seorangpun yang menjawab salamnya itu. Sesudah diadakan tanya jawab yang cukup lama, akhirnya rapat para alim ulama itu memutuskan, menghukum tertuduh (Ali Abdul Raziq) dengan mengeluarkannya dari barisan alim ulama Islam.

Sebagai tindak lanjut dari hukuman itu: (Rapat khusus para ulama ini) menghapus nama Ali Abdul Raziq dari daftar Universitas Al-Azhar Mesir dan lembaga-lembaga Islam lainnya, memecat dari semua jabatan, memutuskan gaji-gajinya dari tempat kerjanya dan menyatakan tidak layak untuk melakukan pekerjaan sebagai pegawai, baik agama maupun non agama.

Pemecatan Syekh Ali Abdul Raziq itu sesuai dengan undang-undang Al-Azhar tahun 1911, yang memberikan mandat kepada Hai’ah Kibaril ‘Ulama (Badan Ulama Terkemuka) untuk mengeluarkan ulama yang tidak sesuai sifat kealimannya dari barisan ulama, dengan kesepakatan 19 kibaril ‘ulama. Undang-undang itu baru sekali diterapkan yaitu untuk Syaikh Ali Abdul Raziq yang kitabnya membentuk arus sekular.

Adapun alasan-alasan dijatuhkannya hukuman tersebut menyangkut isi buku al-Islam wa Ushulul Hukm (Islam dan dasar-dasar hukum) yang Ali Abdul Raziq karang di antaranya:

1. Syekh Ali menjadikan syari’at Islam sebagai syari’at rohani semata, tidak ada hubungannya dengan pemerintahan dan pelaksanaan hukum dalam urusan duniawi.

2. Syekh Ali menganggap jihad Nabi saw itu untuk mencapai kerajaan. Zakat, jizyah, ghonimah dan lain-lain pun demi mencapai kerajan juga, dengan demikian semua itu dianggap keluar dari batas-batas risalah Nabi saw, bukan peristiwa wahyu dan bukan perintah Allah SWT. Forum ulama membacakan ayat-ayat yang berkenaan dengan jihad fi sabilillah, ayat-ayat khusus zakat, cara pengaturan uang sedekah, pembagian ghonimah (harta rampasan perang).

3. Berkenaan dengan anggapannya bahwa tatanan hukum di zaman Nabi saw tidak jelas, meragukan, tidak stabil, tidak sempurna dan menimbulkan berbagai tanda tanya. Kemudian ia menetapkan bagi dirinya suatu madzhab, katanya: “Sebenarnya pewalian Muhammad saw atas segenap kaum mukminin itu ialah wilayah risalah, tidak bercampur sedikitpun dengan hukum pemerintahan.” Ini cara berbahaya yang ditempuhnya, melucuti Nabi saw dari hukum pemerintahan. Anggapan Syekh Ali itu bertentangan dengan ayat:

إنا أنزلنا إليك الكتاب بالحق لتحكم بين الناس بما أراك الله. (النساء: 105).

“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan (membawa) kebenaran, supaya engkau menghukum antara manusia dengan apa yang diperlihatkan (diturunkan) Allah kepadamu itu.” (QS An-Nisa’: 105).

4. Syekh Ali menganggap tugas Nabi hanya menyampaikan syari’at lepas dari hukum pemerintahan dan pelaksanaannya. Kalau anggapannya itu benar, tentulah ini merupakan penolakannya terhadap semua ayat-ayat hukum pemerintahan yang banyak terdapat dalam Al-Qur’anul Karim dan bertentangan dengan Sunnah Rasul saw yang jelas dan tegas .

5. Ia mengingkari kesepakatan (ijma’) para sahabat Rasulullah saw untuk mengangkat seorang Imam dan bahwa menjadi kewajiban bagi umat Islam untuk mengangkat orang yang mampu mengurus permasalahan agama dan dunia.

6. Ia tidak mengakui kalau peradilan itu suatu tugas syari’at.

7. Ia beranggapan bahwa pemerintahan Abu Bakar Shiddiq dan pemerintahan Khulafaur Rasyidin sesudahnya tidak agamis. Ini justru kelancangan Syekh Ali yang tidak agamis.[1]

Hukuman berkaitan dengan syari’at juga dijatuhkan terhadap. Khalaf Allah di Mesir yang ditentukan hukuman fasakh nikahnya (batalnya pernikahan).

Itulah yang oleh Kurzman disebut sebagai korban kekerasan, secara tidak proporsional. Tetapi kalau dari kacamata yang lebih jernih, sebenarnya yang terjadi adalah hukuman terhadap pelaku kriminalitas pemikiran yang dilancarkan dengan sistem kriminal pula. Yaitu, pemikiran (orang sekuler ataupun Islam Liberal) itu sendiri sudah bernilai menohok Islam, lalu dipasarkan secara sistematis lewat jalur-jalur strategis yaitu pendidikan, kelembagaan, dan media massa. Maka ketika umat Islam punya kekuasaan untuk mengadilinya, diadililah, dan dijatuhi hukuman. Sebagaimana tokoh Tasawuf, Al-Hallaj yang berfaham hulul (melebur dengan Tuhan) dan itu menyesatkan aqidah umat, maka dia diadili dan dihukum mati di jembatan Baghdad tahun 309H/ 922M.[2]

Dan ketika umat Islam tidak memiliki kekuasaan untuk mengadili mereka yang bergerak di bidang kriminal lewat keilmuan itu, maka ada beberapa macam yang umat tempuh. Hingga pelaku kriminal lewat pemikiran itu ada yang ditembak mati ketika keluar dari mobilnya, seperti tokoh sekuler yang dianggap murtad yaitu Faraq Fauda di Mesir 1993. Ada yang “diadili” secara seminar khusus seperti Nurcholish Madjid di Masjid Amir Hamzah di TIM (Taman Ismail Marzuki), Jakarta, Desember 1992. Ada yang dikucilkan dari masjid-masjid ataupun kajian-kajian, seperti teman-teman dan murid-murid Nurcholish Madjid khabarnya disingkiri oleh banyak pengurus masjid atau lembaga Islam di Jakarta. Bahkan hanya sebagai pendukung Nurcholish Madjid saja bisa terkena imbasnya. Contohnya, dalam rapat pendirian/ pembentukan Partai Bulan Bintang (PBB) setelah jatuhnya Presiden Soeharto 1998, yang di sana ada Pak Anwar Haryono bekas petinggi partai Islam Masyumi dan tokoh-tokoh lainnya, ketika Prof Dawam Rahardjo (yang dikenal sebagai pendukung Nurcholish Madjid) –saat itu tidak hadir-- diusulkan dalam calon kepengurusan, langsung ada yang berteriak keras: “Jangan! Dawam itu orang sesat, dia!” Keruan saja seluruh hadirin kaget, namun tidak ada yang membantah teriakan itu.

Memuktazilahkan IAIN

Di Indonesia, penyusupan pemutarbalikan keilmuan yang dilakukan Harun Nasution dan kawan-kawannnya atau murid-muridnya sejak 1977 itu satu sisi dianggap oleh pemrakarsanya sudah bisa merubah dan memuktazilahkan IAIN (Institut Agama Islam Negeri) atau –menurut klaim Harun Nasution adalah merasionalkannya. Itu jelas diakui dengan nada bangga oleh Harun Nasution ketika penulis wawancarai tahun 1992[3]. Tetapi dari sisi lain, pemuktazilahan bahkan pengislam liberalan seperti itu bagi orang yang jeli adalah menambah derita alumni IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia.

Kenapa?

Satu sisi, dipojokkannya pendidikan Islam dengan berbagai cara secara internasional (itu merupakan salah satu cabang ghozwul fikri/ serbuan pemikiran) di antaranya dengan cara dipersempit lapangan kerja bagi alumninya, menimpa juga pada alumni IAIN dan perguruan tinggi Islam pada umumnya. Dari satu sisi itu saja sudah menderita. Masih pula pada gilirannya, setelah masyarakat tahu bahwa IAIN dan perguruan tinggi Islam di Indonesia itu diprogram untuk dimuktazilahkan, bahkan diliberalkan sampai nyeleneh (aneh), maka lembaga-lembaga Islam kemungkinan besar akan pikir-pikir lebih dulu kalau untuk menggunakan tenaga dari lulusan IAIN atau perguruan tinggi Islam produk Indonesia. Sehingga, penerimaan tenaga di lembaga-lembaga Islam --untuk mencari amannya-- daripada memilih tenaga yang sudah teracuni oleh pemahaman liberal ataupun Muktazilah maka lebih memilih alumni Timur Tengah, ataupun LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab), atau pesantren-pesantren yang diyakini fahamnya tidak nyeleneh.

Kalau demikian halnya, maka lapangan kerja alumni IAIN dan perguruan tinggi Islam seakan hanya di Departemen Agama, itupun bersaing dengan alumni-alumni dari mana-mana. Dan mungkin masih ada sedikit peluang yaitu di media massa yang kira-kira memilih orang-orang yang dekat dengan sekuler, kiri, atau Islam yang suka nyeleneh.

Keengganan masyarakat Islam untuk mempercayai kehandalan IAIN, berbalik arah dibanding rasa percaya diri yang bahkan mungkin berbau arogansi/ kesombongan sebagian dosen atau alumni dan mahasiswanya. Memang ada dosen-dosen yang namanya mencuat di tingkat nasional, walau bukan dalam ilmu Islamnya, misalnya sebagai komentator politik atau peristiwa-peristiwa sesaat, dadakan. Atau ada yang dipuji-puji koran yang seide dengan mereka, karena nilainya yang bagus dan bisa menulis pikiran-pikiran gurunya –yang pada hakekatnya adalah nyeleneh belaka, dan diterbitkan di penerbitan non Islam alias Katolik, misalnya. Tetapi, kebanggaan yang disandang dengan sedikit arogansi itu tiba-tiba ada kepedihan yang dirasakan pula, karena warga dosen IAIN Jakarta pun di masyarakat dikhabarkan bahwa ada 8 orang yang menjadi pengajar di Institut Apostolos, tempat menggodok calon-calon penginjil nasional. Bahkan lebih prihatin lagi, karena ada yang setelah dikuliahkan atas nama studi Islam ke negeri kafir Barat ternyata dia kemudian ketika balik lagi untuk mengajar di IAIN ia tidak sholat, dan bahkan berani bilang, apakah kalau orang kafir tidak boleh mengajar di IAIN?

Kegetiran itu menyurutkan kesombongan yang sempat muncul sementara tadi, dan masih diliputi kegetiran pula, karena masyarakat menyayangkan terhadap IAIN lantaran gejala tumbuh suburnya Forkot (aliran kiri bahkan menurut masyarakat dianggap sebagai berbau komunis) di perguruan tinggi Islam itu. Kata Abdul Qadir Jaelani, seorang da’i dari Bogor Jawa Barat, tumbuh suburnya Forkot / Forum Kota di IAIN Jakarta terutama Fakultas Ushuluddin itu karena di sana ada pengajarnya, orang Jesuit, Nasrani Fanatik, yaitu Fran Magnis Suseno SJ.

Bagaimanapun, IAIN adalah perguruan tinggi Islam yang memberikan pengajaran di tingkat akademik bagi anak-anak Muslim. Umat Islam Indonesia punya banyak perhatian padanya, maka kondisi yang seperti itu sebenarnya menjadi keprihatinan bagi Muslimin Indonesia, walau mungkin jadi “kebanggaan” bagi segelintir orang yang punya misi tertentu dan telah bisa mengubah IAIN sebagai sasaran misinya.

Kalau dulu Pak Dr Said Agil Al-Munawar belum tampak mampu mewarnai IAIN Jakarta walaupun jadi direktur Pasca Sarjananya, maka apakah ketika beliau jadi Menteri Agama tahun 2001 ini akan mampu mengubah visi dan misi IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia, dari Muktazilah dan nyeleneh serta liberal, menjadi Islam yang benar sesuai ajaran Nabi saw.

Seorang Harun Nasution bisa merubah IAIN, kemudian kebablasan, kemudian sekarang entah arahnya ke mana seperti itu. Padahal dia bukan menteri. Barangkali orang Brunei kini bersyukur, karena mereka telah berani menolak Harun Nasution untuk mengajar di perguruan tinggi Brunei Darussalam tahun 1985-an. Sebaliknya Abah Anom di Tasik Malaya Jawa Barat yang pemimpin tarekat –yang menurut fatwa para Ulama Lajnah Daaimah Saudi Arabia dinyatakan sesat menyesatkan— itupun bersyukur, karena hanya seorang pemimpin tarekat di desa yang terangkat namanya di masa Orde Baru ternyata punya murid seorang Prof Dr Harun Nasution hingga lebih melancarkan pengajaran-pengajarannya yang belum tentu sesuai dengan Islam itu. Antara syukur yang satu (orang Brunei yang menolak Harun Nasution) dengan syukur yang lain (Abah Anom yang menerima Harun sebagai muridnya) itu berbeda arah.

[1] Lihat Islam di Tengah Persekongkolan Musuh Abad 20, Fathi Yakan, GIP, juga lihat Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, 1994, hal 83-85.

[2] Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Tasawuf Belitan Iblis, Darul Falah, Jakarta, cetakan 3, 1422H/ 2001M, hal 77.

[3] Dalam wawancara 1992, Harun Nasution mengatakan: IAIN sudah berubah. Faham sunnatullah ini masuk di filsafat dan teologi, bukan hanya di Fakultas Ushuluddin tetapi di seluruh fakultas di 14 IAIN. Hanya yang berkembang betul di Jakarta, kemudian di Yogya. Pengembangan itu sudah banyak tenaganya. Mahasiswa yang dikirim ke luar negeri banyak. Dan yang sudah berkecimpung di sini banyak. Seperti Nurcholish Madjid, Din Syamsuddin, Komaruddin, dan akan datang Azyumardi. (Saya/ penulis tanyakan: Ini bisa dikatakan era Muktazilah?). Ya, sudah masuklah. Tapi saya tidak suka disebut Muktazilah, tapi rasional. Muktazilah itu orang Barat menyebutkan Rasionalis, sedang Ahlis Sunnah dan Jabbariyah itu Tradisionalis. (Lihat buku Rukun Iman Diguncang, Pustaka An-Naba’, Jakarta, cetakan II, Mei 2000, halaman 6).


sumber : Ada Pemurtadan di IAIN
Selengkapnya...

Pendidikan Islam Telah Diselewengkan

23.59 Posted In Edit This 0 Comments »

Akar masalah lancarnya pemurtadan dan kristenisasi adalah system pendidikan Islam yang telah diselewengkan. Kurikulum perguruan tinggi Islam tidak islami lagi, karena diambil dari hasil eksperimen dan rancangan orientalis Barat yang misinya adalah penjajahan, kristenisasi dan westernisasi/ pembaratan. Bahkan kurikulum IAIN, UIN, STAIN, dan STAIS kini penekanannya pada apa yang disebut sosio histories. Masih pula alokasinya diperluas muatan lokalnya sampai 43 persen. Muatan local yang arah penekanannya sosio histories itu sendiri secara alokasi waktu tentunya sudah membabat mata kuliah keislaman yang mestinya lebih didalami.Sehingga tak mengherankan kalau dosen-dosen mata kuliah aqidah (bahkan aqidah saja sudah diganti dengan pemikiran Islam berupa subnya, yaitu ilmu kalam) dan pengajar mata kuliah syari’ah tentunya banyak yang nganggur atau harus mengajar mata kuliah lain, misalnya muatan local atau malahan hermeneutika (metode tafsir Bible) yang justru merusak pemahaman Islam. Yang tadinya mendidik mahasiswa agar memahami Islam berubah mengajari mahasiswa agar bingung terhadap Islam atau menjadi orang yang kerjanya mengkritisi Islam, bukan mengamalkannya dengan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Atau sementara masih mengajar tafsir namun mengajar pula hermeneutika, sehingga diri sang dosen itu sendiri bingung (namun bisa pula mengklaim dirinya justru lebih luas wawasannya), apalagi mahasiswanya.

Dengan system pendidikan Islam seperti itu, maka para orangtua yang menguliahkan anak-anaknya dengan harapan agar menjadi ulama yang sholih sama sekali harapan itu terabaikan.Yang muncul justru sarjana-sarjana agama Islam yang pemahaman Islamnya tidak berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj (metode pemahaman) salafus shalih (generasi awal Islam: sahabat Nabi saw, tabi’in dan tabi’it tabi’in), namun pemahaman Islam yang hanya berlandaskan pemikiran-pemikiran, entah benar entah salah. Karena yang dijadikan mata kuliah dasar (semua mahasiswa harus ikut, dan yang swasta harus ujian negeri) adalah apa yang disebut Sejarah Pemikiran Islam, yaitu tentang sekte-sekte/ aliran-aliran, tasawuf, dan filsafat. Dan apa yang disebut mata kuliah Sejarah Kebudayaan/ Peradaban Islam yang lebih menitik beratkan kepada politik dan peperangan serta aneka budaya di kalangan umat Islam yang tentu saja belum tentu sesuai dengan ajaran Islam.

Akibatnya, perguruan tinggi Islam baik negeri maupun swasta itu menghasilkan sarjana-sarjana agama Islam yang tidak faham Islam secara benar (karena mata kulah dasarnya Sejarah Pemikiran Islam dan Sejarah Kebudayaan/ Peradaban Islam), dan tidak sedikit yang membentuk pemandangan aneh, yaitu bersinergi dengan pihak kafirin yang melancarkan kristenisasi, pemurtadan, dan perusakan Islam. Kedua belah pihak (sarjana agama Islam dan kafirin pembawa misi pemurtadan dan kristenisasi) yang seharusnya saling berhadapan itu justru bergandeng tangan dalam melancarkan pemurtadan dan kristenisasi, karena rahimnya sama, yaitu orientalis Barat.

Kondisi itu didukung dan diprogramkan secara sistematis oleh penguasa yang memang sejak merdeka 1945 dipegang oleh kaum sekuler dan senantiasa menghadapi Islam. Akhir-akhir ini diperparah dengan kepentingan-kepentingan tertentu misalnya untuk menambah utang kepada kekuatan dunia kafirin, atau untuk melanggengkan kekuasaan, maka sering-sering ditunjukkan dengan pendhaliman terhadap umat Islam, sebagai sesaji terhadap thaghut pemilik modal dan kekuatan dunia. Dan aneka syarat yang di antaranya menekan umat Islam pun tentu dituruti. Namun semua itu sulit dibuktikan, karena tentu saja dokumen-dokumen tidak diedarkan, atau pembicaraan pun tidak diedarkan. Hanya saja secara logika dan kenyataan memang terasa, karena pidato-pidato para pejabat sering membuat stigma terhadap umat Islam. Dulu ada istilah yang membuat bulu kuduk merinding kalau pejabat menuding umat Islam sebagai ekstrim kanan. Kini istilah itu diganti dengan kecaman model Yahudi yaitu teroris, padahal justru Yahudilah teroris sejati yang membantai ribuan orang Palestina. Namun stigma itu justru dicapkan terhadap umat Islam.

Sistem pendidikan Islam di perguruan tinggi Islam yang sudah membahayakan bagi generasi Islam di Indonesia itu kini masih ditambah lagi bahayanya dengan dimasukkannya metode untuk menafsiri Bible yakni apa yang mereka sebut hermeneutika, ke perguruan-perguruan tinggi Islam untuk menyaingi metode ilmu tafsir yang sudah baku dalam Islam untuk memahami/ menafsiri Al-Qur’an. Adian Husaini aktivis KISDI (Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam) mengemukakan keprihatinannya mengenai masalah hermeneutika yang dipompakan di perguruan tinggi Islam, di antaranya dia kemukakan:

Majalah GATRA edisi 3 April 2004 menurunkan laporan cukup panjang tentang fenomena kajian hermeneutika di kalangan perguruan Islam di Indonesia. Disebutkan, dua perguruan tinggi negeri, yakni Universitas Islam Negeri Jakarta dan IAIN Yogyakarta sudah mengajarkan mata kuliah Hermenutika untuk mahasiswanya.

Pada dasarnya, hermeneutika adalah metode tafsir Bible, yang kemudian dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh sebagian cendekiawan Muslim, kemudian metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman al-Quran yang dikenal sebagai ilmu tafsir. Jika metode atau cara pemahaman al-Quran sudah mengikuti metode kaum Yahudi-Nasrani dalam memahami Bible, maka patut dipertanyakan, bagaimanakah masa depan kaum Muslim di Indonesia?

Di antara implikasinya, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai lingkaran hermeneutis, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.

Hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan
menolak kebenaran, faham ini juga akan melahirkan mufassir-mufassir palsu dan pemikir-pemikir yang tidak terkendali (liar).

Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran Islam sudah sangat mencolok di Indonesia. Misalnya, pemikiran tentang tidak boleh adanya truth claim (klaim kebenaran) dari satu agama tertentu. Paham ini disebarkan secara meluas. Pada 1 Maret 2004 lalu, dalam sebuah seminar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, seorang profesor juga mengajukan gagasan tentang tidak bolehnya kaum Muslim melakukan truth claim. Sebab, hanya Allah yang tahu kebanaran. (Lebih jelasnya, silahkan membaca di bagian lampiran buku ini).

Itulah bahaya pemompaan “ilmu tafsir” untuk Bible namun diajarkan di perguruan-perguruan tinggi Islam untuk menafsiri Al-Qur’an, yang tentu saja sejalan dengan program pemurtadan dan kristenisasi.

Pemurtadan dan kristenisasi digencarkan bukan semata-mata mengiming-imingi harta dan semacamnya kepada Muslimin agar masuk Kristen, namun telah menempuh berbagai cara dan lebih canggih ketimbang cara Snouck Hurgronje yang mengkristenkan Muslimin Nusantara dengan cara “membelandakan”, yakni mengarahkan pribumi dengan budaya Belanda agar kebelanda-belandaan, nantinya mereka akan jadi Kristen sendiri.

Sekarang ini cara konvensional (mengiming-imingi supermie, indomie dan semacamnya) plus teori Souck Hurgronje masih dijalankan, dan telah ditingkatkan menjadi bentuk iming-iming dana kepada para tokoh Islam serta lembaga-lembaganya untuk menjalankan misi pemurtadan, kristenisasi, dan perusakan Islam. Sehingga cara-cara kristenisasi model lama itu dipadukan, lalu dimodivikasi, jadilah kristenisasi, pemurtadan, dan penjauhan umat dari Islam secara sistematis. Yaitu dana-dana yang tadinya untuk disebarkan kepada masyarakat umum Muslimin calon-calon korban, kini diubah sistemnya agar lebih efektif, yaitu dikumpulkan jadi satu, diberikan kepada tokoh-tokoh Islam plus lembaga-lembaganya, lalu disetir agar para tokoh beserta lembaga-lembaganya itu untuk melancarkan misi kristenisasi, pemurtadan, dan penjauhan umat dari Islam secara sistematis. Paket-paket dana itu untuk upah jasa pemasaran paket materi perusakan Islam, pemurtadan, dan kristenisasi yang terancang rapi.

Mengaburkan Islam dengan Pendekatan ala Kristen

Kalau Snouck Hurgronje hanya menyebut secara garis besar yaitu kristenisasi lewat budaya “pembelandaan”, maka rancangan Snouck itu telah dikembangkan dengan paket-paket yang telah disistematisasi dalam perusakan Islam dan pengaburan pemahaman Islam serta pendekatan model Kristen. Hingga pembahasan para antek pemurtadan dan kristenisasi yang masih menamakan diri sebagai Muslim itu cukup mengusung paket-paket yang telah disiapkan pihak kafir pendana. Di antaranya:

1. Pengubahan kurikulum di perguruan-perguruan tinggi Islam dari mata kuliah yang akan membentuk pemahaman Islam secara manhaj (metode pemahaman) yang selamat yaitu manhaj salafush shalih (generasi awal Islam: sahabat Nabi saw, tabi’in dan tabi’it tabi’in) diganti dengan kurikulum yang landasannya bukan Al-Qur’an dan As-Sunnah lagi, namun hanya pemikiran-pemikiran dan peradaban-peradaban, entah benar entah salah. Dengan dialihkan seperti itu maka tujuannya untuk mengalihkan pemahaman Islam kepada pemahaman kekafiran, yaitu menganggap bahwa agama apa saja benar, bukan hanya Islam yang benar. Bahkan tidak boleh menganggap bahwa hanya Islam lah yang benar. Itulah pemahaman pluralisme agama, menyamakan semua agama, yang menurut Islam adalah faham kekafiran, dan orangnya jadi kafir alias murtad, kelak menjadi penghuni neraka selama-lamanya, abadi.

2. Pengajaran hermeneutika, metodologi pemahaman/penafsiran teks Bible, dipompakan di perguruan-perguruan tinggi Islam, agar Al-Qur’an tidak lagi diyakini sebagai kalamullah (firman Allah) namun sebagai teks biasa karangan Nabi Muhammad saw, dan boleh ditafsirkan oleh siapa saja, dan tidak ada makna baku. Akibatnya, Islam tidak difahami sebagai agama wahyu yang murni dari Allah SWT, hingga sama saja dengan agama-agama lain, sampai agama yang jelas-jelas menentang Allah SWT.

3. Mencerai beraikan aqidah Islam, syari’ah atau hukum-hukumnya dengan aneka cara, di antaranya Islam dibatasi dengan waktu dan tempat, sehingga Islam di zaman sekarang ditafsirkan dengan ditarik-tarik ke arah kondisi dan situasi sekarang. Akibatnya, banyak hal dalam Islam yang dianggap tidak berlaku lagi, misalnya jilbab pakaian kaum Muslimah dan sebagainya, bahkan haramnya menikahi orang musyrik pun dianggap tidak berlaku. Ini bentuk kekafiran yang nyata menentang.

4. Mengkotakkan Islam hingga tidak perlu dipakai dalam kehidupan, dengan memunculkan aturan-aturan baru model sekuler, hingga yang dipakai adalah yang sekluer. Misalnya, demokrasi, gender, feminisme, humanisme, masalah keadilan model sekuler dan hak asasi manusia serta politik model sekuler. Akibatnya, Islam tidak diberi ruang lagi, bahkan dicurigai sebagai merusak atau melanggar hak asasi manusia, merusak demokrasi. Sehingga larangan-larangan Islam misalnya larangan berzina dan homoseks yang telah jelas hukuman-hukumannya pun dicela dan dianggap melanggar hak asasi manusia. Dalam kasus semacam ini, hak asasi manusia dan demokrasi telah dipertuhankan atau jadi thaghut yang dianggap cukup ampuh untuk memberangus Islam.

5. Dengan berbagai jalan yang merusak Islam itu, maka para tokoh Islam (sewaan kafirin) yang melancarkan perusakan Islam dengan menjadi agen-agen missionaries dan imperialis/ penjajah model baru itu menangguk dana dari kafirin dan kemungkinan bisa mulus dalam menduduki jabatan di masyarakat atau bahkan kemungkinan di pemerintahan. Dari sana mereka menyebarkan pendapat-pendapat yang merusak Islam, memurtadkan, dan memuluskan jalan kristenisasi secara leluasa dikutip dan disebarkan oleh aneka media massa, lebih-lebih media massa yang juga disewa kafirin untuk merusak Islam dan misi pemurtadan serta kristenisasi.

6. Para tokoh bahkan ulama dan cendekiawan yang sudah bisa disewa untuk merusak Islam itu tentu mempersilakan pemurtadan dan kristenisasi, bahkan tidak sedikit yang nyambi ngobyek ke pendeta-pendeta (atau disewa pendeta) untuk memuluskan kristenisasi, contohnya memberi kata pengantar buku-buku pendeta, khutbah/ pidato di gereja-gereja, menghadiri upacara-upacara natalan di gereja dan sebagainya.

7. Merekayasa para tokoh Islam yang masih istiqomah/ kosnisten dengan Islam yang manhajnya sesuai manhaj salafus shalih untuk dipecundangi, bahkan dipenjarakan dan dikucilkan serta diberi cap-cap buruk misalnya sebagai teroris, ekstrimis, fundamentalis, kolot dan sebagainya. Hingga umat Islam agar menjauh dari tokoh Islam dan ulama yang istiqomah dalam Islamnya, supaya umat tidak tahu Islam yang benar, dan tidak ada ghirah Islamiyah lagi, sehingga pemurtadan agar lebih lancar dan kristenisasi tak terhalang.

8. Mengkritik kebijakan-kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah-daerah yang diperkirakan akan kondusif dalam penyiaran Islam yang benar atau tidak terganggunya Islam. Misalnya ada larangan minuman keras begitu saja, maka antek-antek pemurtadan dan kristenisasi itu akan melancarkan kritik yang setajam-tajamnya, sambil menguraikan ratapan atas menganggurnya sekian juta orang akibat tidak beredarnya minuman keras. Ini sangat berbalikan dengan hal-hal yang berbau penerapan Islam (bukan larangan) misalnya aturan memakai pakaian muslimah yang menutup aurat di Aceh, maka para antek penjajah modern yang pro kristenisasi itu akan mengkritik sejadi-jadinya.

Penjajahan model baru yang menggilas Islam ini lebih dahsyat bahayanya dibanding sekadar penjajahan fisik walaupun berlangsung 3,5 abad. Karena, di zaman penjajahan Belanda selama 3,5 abad belum ada orang yang mengaku Islam lantas mengatakan bahwa Al-Qur’an itu diragukan kemurniannya. Namun, penjajahan model kini dalam rangka pemurtadan dan kristenisasi serta penjauhan Islam dari umatnya ini telah lebih jauh dan sangat- sangat jauh perusakannya terhadap Islam. Islam diacak-acak, kristenisasi dan pemurtadan diberi jalan secara bergotong royong antar para antek yang mengais-ngais dana dari kafirin. Mereka pakai baju Islam dan lembaga Islam, namun sebenarnya lebih berbahaya dibanding para pendeta dan misionaris yang paling jago yakni Snouck Hurgronje dan Van der Plash. Kini telah bermunculan Snouck-Snouck dan Van der Plas-Van der Plash baru berkulit sawo matang, tidak berkulit putih model Belanda, yang lebih sangat berbahaya. Dalam sejarahnya, kalau disebut Van der Plash, orientalis Belanda di Jawa, orang langsung punya anggapan bahwa dia itu adalah syetan. Namun anehnya, kini Van der Plash-Van der Plash baru belum dicap sebagai syetan. Memang tempo-tempo sudah ada yang dijuluki Iblis, namun penyebutan itu baru terbatas di forum-forum tertentu.

Perusakan Islam secara sistematis itu telah jelas, di antara jalan utamanya adalah jalur pendidikan, dengan mengubah kurikulum pendidikan Islam ke arah sekuler dan pluralisme agama seperti uraian di atas. Walaupun hasilnya sudah sangat merusak Islam, namun Amerika masih belum puas. Mereka masih mengintervensi pendidikan Islam di Indonesia, hingga pesantren-pesantren pun dikucuri dana 157 juta dolar untuk mengubah kurikulumnya, lewat Departemen Agama RI. Maka KH Ahmad Khalil Ridwan dari BKSPPI (Badan Kerjasama Pondok Pesantren Indonesia), mengatakan, “Saya serukan kepada para kiai pesantren agara tidak mau menerima duit Amerika lewat Departemen Agama Rp50 juta kalau disuruh mengubah kurikulum pesantren model mereka.”

Adanya semacam reaksi dari umat Islam itu, kemudian tampaknya tidak menyurutkan Amerika dan kafirin lainnya, bahkan akan benar-benar dipompakan pengubahan kurikulum pesantren-pesantren di Indonesia itu. Hingga tegas-tegas dikomandokan lagi oleh Amerika Juni 2004, dalam mengobok-obok Islam lewat pendidikan Islam, yakni mengubah kurikulum menurut selera kafir mereka, dengan dalih memberantas apa yang mereka sebut terorisme.

Radio BBC memberitakan, Menteri Pertahanan Amerika Donald Rumsfeld mendesak negara-negara Asia untuk terus melanjutkan upaya mencabut apa yang mereka sebut akar terorisme. Dalam konperensi keamanan di Singapura, Rumsfeld mengatakan satu hal yang penting adalah mempengaruhi anak anak muda.
Ia menyebutkan tentang pesantren, yang menurutnya harus diberikan dana untuk mengajarkan pelajaran lain dan bukannya terorisme. (BBC London, 5/6 2004).
Setelah Amerika dan Barat telah merasa sukses menggarap perguruan tinggi Islam di Indonesia sesuai dengan misi sekuler dan anti Islamnya, dan bahkan hasilnya sudah tampak nyata sebagaimana uraian di atas mengenai perusakan Islam, pemurtadan dan kristenisasi yang dilancarkan oleh antek-antek kafirin di antaranya para sarjana keluaran perguruan tinggi Islam, ternyata Amerika masih kurang puas. Lantas pesantren menjadi bidikan utama untuk dijadikan jalan utama dalam mengubah pemahaman Islam ke arah sekuler, pluralisme agama, pemurtadan, dan kristenisasi.

Benteng pertahanan Islam adalah pesantren-pesantren. Kalau pesantren sudah diobok-obok untuk dijadikan agen pemurtadan, pensekuleran, kristenisasi, dan perusakan Islam, maka sungguh akan seperti fungsi masjid dhiror buatan kaum munafiqin di Madinah zaman Nabi Muhammad saw yang langsung Allah perintahkan untuk dihancurkan. Maka Nabi saw mengutus sahabatnya untuk membakarnya sampai ludes.

Lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah banyak yang dialih fungsikan sebagai masjid-masjid dhiror untuk mencelakakan Islam. Lantas pesantren-pesantren pun akan dimasjid dhirorkan pula. Betapa ngerinya kalau umat Islam ini nanti di bawah asuhan dan bahkan kungkungan para pengelola masjid-masjid dhiror di bawah komando kafirin tingkat dunia.

Sebelum masalah sangat berat itu terjadi, maka jalan yang mesti ditempuh umat Islam yang masih istiqomah adalah menyelamatkan lembaga-lembaga pendidikan Islam dari system dhiror buatan kafirin. Caranya, mesti dikembalikanlah system pendidikan Islam, (lebih-lebih perguruan tinggi Islam wabil khusus program S2 dan S3) ke kurikulum pendidikan Islam yang benar, system pendidikan Islam yang benar. Para Ulama dan pendidik Muslim perlu merumuskan dan merancang kembali kurikulum pendidikan Islam yang benar, yang jauh dari obok-obokan kaum kafirin. Yaitu kurikulum pendidikan Islam yang melandaskan Islam pada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan manhaj (metode pemahaman) salafus shalih, yaitu generasi terbaik Islam, tak lain adalah generasi bimbingan Rasul saw dan bimbingan wahyu, yakni generasi sahabat Nabi saw yang diikuti para tabi’in dan tabi’it tabi’in. Semua ajaran Islam yang difahami dan diamalkan oleh tiga generasi awal itu sudah diwarisi oleh para ulama yang terpercaya dan telah dibukukan secara sistematis, hingga masih utuh sampai kini, dan bisa dirujuk, mana yang shahih (benar) dan mana yang tidak. Pendidikan Islam dengan pemahaman yang selamat yaitu pemahaman salafus shalih itulah benteng sebenarnya bagi Islam. Maka pengajaran Islam yang benar itu harus dilaksanakan di seluruh kalangan umat Islam, yaitu di seluruh lembaga pendidikan Islam, baik perguruan tinggi Islam, perguruan menengah, maupun madrasah ibtidaiyah, pesantren-pesantren dan bahkan pengajian-pengajian di masjid-masjid dan majelis-majelis ta’lim.

Kalau kelak umat Islam telah faham Islam dengan pemahaman yang benar, maka insya Allah cap-cap buruk atas orang-orang yang jadi agen pengkafiran, pemurtadan, kristenisasi, sekulerisasi, dan perusakan agama itupun akan melekat pada mereka dengan sendirinya. Sehingga dana bermiliar-miliar dari kafirin yang telah dikorbankan untuk pemurtadan dan kristenisasi serta penjauhan Islam dari umatnya itu akan muspra sia-sia, sedang para penangguk dana itupun akan mati dengan mendapatkan laknat serta kutukan dari Allah SWT, para malaikat, ulama yang shalih, dan umat Islam pada umumnya.

Allah akan membalikkan tipu daya mereka kepada mereka sendiri, dan karena yang dirusak itu adalah agama Allah, maka Dia lah yang akan membalas langsung kejahatan mereka. Itu sesuai dengan firman Allah SWT:

Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (QS Ali Imran: 54).

Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. (QS As-Shaff: 8).

Kerja keras mereka siang malam demi menangguk dolar dari kafirin dan menipu umat Islam itu tidak jauh dari kecaman Allah SWT terhadap kaum munafiqin:

Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, pada hal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar. (QS Al-Baqarah; 9).

Nabi Muhammad saw telah memperingatkan dalam hadits:

Diriwayatkan dari Ali r.a, ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah s.a.w bersabda: Pada akhir zaman akan muncul kaum yang muda usia dan lemah akalnya. Mereka berkata-kata seolah-olah mereka adalah manusia yang terbaik. Mereka membaca al-Quran tetapi tidak melewati kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana anak panah menembusi binatang buruan. Apabila kamu bertemu dengan mereka, maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya, membunuh mereka ada pahalanya di sisi Allah pada Hari Kiamat . (HR Muttafaq ‘alaih).

Celakalah para perusak Islam, antek pemurtadan dan kristeniasi. Dan berbahagialah orang yang melawan upaya-upaya jahat itu dengan ikhlas demi meninggikan kalimah Allah sebagai kalimah yang tinggi. Semua itu membutuhkan ilmu, kesabaran, dan kecermatan yang tinggi. Kalau perjuangan ini sungguh-sungguh, maka sesuai dengan yang Allah janjikan:

Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS Al-Ankabut: 69).

Mudah-mudahan umat Islam ini menjadi pejuang-pejuang yang telah dijanjikan Allah untuk ditunjukkan jalan-jalan-Nya, yaitu jalan kebenaran yang sejati, yang kini sedang dirusak secara sistematis dan beramai-ramai oleh antek-antek kafirin seperti yang diuraikan dalam buku ini. Hanya kepadaMu ya Allah, kami menyembah, dan hanya kepadaMu kami memohon pertolongan. Tolonglah hambaMu dari bahaya para pengkhianat agamaMu yang sekarang sedang marak merusak Islam ini.Amien.
Selengkapnya...

Bahaya Islam Liberal

06.27 Edit This 0 Comments »

Islam liberal tampaknya bukan merupakan nama baku dari satu kelompok Islam, namun hanyalah satu kategori untuk memudahkan analisis. Sehingga orang-orang yang dikategorikan dalam Islam liberal itu sendiri ada yang saling berjauhan pendapatnya bahkan yang satu mengkritik tajam yang lain. Misalnjya, Ali Abdul Raziq dari Mesir yang menulis buku Al-Islam wa Ushulul Hukm dikritik tajam oleh Rasyid Ridha dan Dhiyauddin Rayis. Namun yang dikritik maupun pengkritiknya itu kedua belah pihak dimasukkan dalam kategori Islam Liberal, sebagaimana ditulis dalam buku Charles Kurzman, Liberal Islam: A Sourcebook. Padahal, di kalangan Islam revivalis (salafi), Rasyid Ridha adalah seorang salaf, yang diakui sebagai ulama yang menguasai Hadits pula.

Demikian pula, Dr. Faraj Faudah[1] (Faraq Fuda, Mesir 1945-1993) tokoh sekuler di Mesir yang mati ditembak orang, April 1993, dan dinyatakan murtad oleh seorang ulama terkemuka di Mesir Muhammad Al-Ghazali, oleh Kurzman dimasukkan pula dalam barisan Islam Liberal yang menurutnya: secara tidak proporsional, menjadi korban kekerasan. Sebagaimana Dr Muhammad Khalaf Allah (Mesir, lahir 1916) yang dalam acara debat Islam dan Sekuler di Mesir 1992 dia jelas sebagai wakil kelompok sekuler, oleh Kurzman dimasukkan pula dalam kelompok Islam Liberal yang teraniaya seperti Dr Faraj Faudah. Hanya saja dia sebutkan, tidak hanya dipaksa untuk membakar seluruh salinan karyanya, tetapi juga dipaksa untuk menegaskan kembali keimanannya kepada Islam dan kembali memperbarui perjanjian perkawinannya.[2]

Bahkan Ahmad Dahlan (1868-1923M) pendiri Muhammadiyah dan Ahmad Surkati ulama Al-Irsyad gurunya Prof Dr HM Rasjidi[3] dimasukkan pula dalam barisan Islam Liberal. Sebaliknya, Nurcholish Madjid yang sejak tahun 1970-an mengemukakan pikiran sekularisasinya dan dibantah oleh HM Rasjidi, dimasukkan pula dalam jajaran Islam Liberal.

Kurzman yang alumni Harvad dan Berkeley itu menandai para tokoh Islam Liberal adalah orang-orang yang mengadakan pembaruan lewat pendidikan, dengan memakai sistem pendidikan non Islam alias Barat. Maka secara umum, tokoh-tokoh Islam Liberal itu menurutnya, adalah orang-orang modernis atau pembaharu.

Secara pengkategorian untuk menampilkan analisis, Kurzman telah memilih nama Islam Liberal sebagai wadah, tanpa menilai tentang benar tidaknya gagasan-gagasan dari para tokoh yang tulisannya dikumpulkan, 39 penulis dari 19 negara, sejak tahun 1920-an. Namun dia memberikan pengantar tentang perjalanan tokoh-tokoh Islam Liberal sejak abad 18, dimulai oleh Syah Waliyullah (India, 1703-1762) yang dianggap sebagai cikal bakal Islam Liberal, karena walaupun fahamnya revival (salaf) namun menurut Kurzman, bersikap lebih humanistik terhadap tradisi Islam adat, dibanding yang Wahabi atau kelompok kebangkitan Islam lainnya.

Digambarkan, orang Islam Liberal angkatan abad 18, 19, dan awal abad 20 mengakomodasi Barat dengan kurang begitu faham seluk beluk Barat. Tetapi kaum Liberalis angkatan setelah itu lebih-lebih sejak 1970-an adalah orang-orang yang faham dengan kondisi Barat karena bahkan mereka keluaran Barat, Eropa dan Amerika.

Gambaran itu perlu diselidiki pula, seberapa kemampuan mereka dalam hal ilmu-ilmu Islam pada angkatan abad 18, 19, dan awal abad 20; dan seberapa pula kaum Liberalis yang angkatan belakangan sampai kini.



Islam Liberal Dimasyhurkan dengan Sebutan Pembaharu

Pengkategorian Islam Liberal seperti yang dilakukan Kurzman itu, sebenarnya secara bentuk pemahaman hanya satu bentuk pengelompokan yang longgar, artinya tidak mempunyai sifat yang khusus apalagi seragam. Dilihat dari segi akomodatifnya terhadap Islam tradisi, mereka belum tentu. Dilihat dari segi mesti berhadapan dengan revivalis (salafi) kadang tidak juga. Buktinya, kenapa Rasyid Ridha yang digolongkan salafi oleh kaum salaf dimasukkan pula dalam Islam Liberal. Demikian pula Ahmad Surkati dan Ahmad Dahlan yang dianggap “musuh” NU (Nahdlatul Ulama/ Islam tradisi) dimasukkan dalam Islam Liberal pula.

Namun, penyebutan Islam Liberal yang dipakai Kurzman itu justru agak mendekati kepada realitas pemahaman, dibanding apa yang dilakukan oleh Dr Harun Nasution yang tentunya dijiplak juga dari Barat[4], kemudian bukunya jadi materi pokok di IAIN dan perguruan tinggi Islam se-Indonesia. Harun Nasution ataupun kurikulum di IAIN menamakan seluruh tokoh Islam Liberal itu dengan sebutan kaum Modernis atau Pembaharu, dan dimasukkan dalam mata kuliah yang disebut aliran-aliran modern dalam Islam. Yaitu membahas apa yang disebut dengan pemikiran dan gerakan pembaruan dalam Islam. Kemudian istilah yang dibuat-buat itu masih dikuat-kuatkan lagi dengan istilah bikinan yang mereka sebut Periode Modern dalam Sejarah Islam.

Pemerkosaan seperti itu diujudkan dengan menampilkan buku, di antaranya Harun Nasution menulis buku yang biasa untuk referensi di seluruh IAIN dan perguruan tinggi Islam di Indonesia, Pembaharuan dalam Islam –Sejarah dan Gerakan, terbit pertama 1975. Dalam buku itu, pokoknya hantam kromo, semuanya adalah pembaharu atau modernis. Sehingga yang revivalis (salafi) seperti Muhammad bin Abdul Wahab yang mengembalikan Islam sebagaimana ajaran awalnya ketika zaman Nabi, sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in, sampai yang menghalalkan dansa-dansa campur aduk laki perempuan seperti Rifa’at At-Thahthawi (Mesir) semuanya dikategorikan dalam satu nama yaitu kaum Modernis.

Mendiang Prof Dr Harun Nasu­tion alumni MMcGill Canada yang bertugas di IAIN Jakarta itu pun memuji Rifa'at Thahthawi (orang Mesir alumni Prancis) sebagai pembaharu dan pembuka pintu ijtihad (Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, hal 49).

Padahal, menurut Ali Muhammad Juraisyah dosen Syari'ah di Jami'ah Islam Madinah, Rifa'at Thahthawi itu alumni Barat yang paling berbahaya. Rifa'at Thahthawi tinggal di Paris 1826-1831M yang kemudian kembali ke Mesir dengan bicara tentang dansa yang ia lihat di Paris bahwa hanya sejenis keindahan dan kegairahan muda, tidaklah fasik berdansa itu dan tidaklah fasik (tidak melanggar agama) berdempetan badan (dalam berdansa laki-perempuan itu, pen).

Ali Juraisyah berkomentar: Sedangkan Rasulullah SAW bersabda:

لكل بني آدم حظ من الزنا: فالعينان تزنيان وزناهما النظر، واليدان تزنيان وزناهما البطش، والرجلان تزنيان وزناهما المشي، والفم يزني وزناه القبل، والقلب يهوي ويتمنى، والفرج يصدق ذلك أو يكذبه.

"Likulli banii aadama haddhun minaz zinaa: fal 'ainaani tazniyaani
wa zinaahuman nadhru, walyadaani tazniyaani wazinaahumal bathsyu,
warrijlaani tazniyaani wazinaahumal masy-yu, walfamu yaznii
wazinaahul qublu, walqolbu yahwii wa yatamannaa, walfarju yushod
diqu dzaalika au yukaddzibuhu."

Artinya: "Setiap bani Adam ada potensi berzina: maka dua mata berzina dan zinanya melihat, dua tangan berzina dan zinanya memegang, dua kaki berzina dan zinanya berjalan, mulut berzina dan berzinanya mencium, hati berzina dan berzinanya cenderung dan mengangan-angan, sedang farji/ kemaluan membenarkan yang demikian itu atau membohongkannya.” (Hadits Musnad Ahmad juz 2 hal 243,

sanadnya shohih, dan hadits-hadits lain banyak, dengan kata-kata yang berbeda namun maknanya sama).

Benarlah Rasulullah SAW dan bohonglah Syekh Thahthawi.[5]

Pencampuradukan yang dilakukan Harun Nasution --antara tokoh yang memurnikan Islam dan yang berpendapat melenceng dari Islam-- dalam bukunya ataupun kurikulum perkuliahan itu memunculkan kerancuan yang sangat dahsyat, dan paling banter dalam perkuliahan-perkuliahan hanya dibedakan, yang satu (revivalis/ salafi, pemurni Islam) disebut sebagai kaum modernis, sedang yang lain, yang menerima nasionalisme, demokrasi, bahkan dansa-dansi, disebut Neo Modernis.

Kerancuan-kerancuan semacam itu, baik disengaja atau malah sudah diprogramkan sejak mereka belajar di Barat, sebenarnya telah mencampur adukkan hal-hal yang bertentangan satu sama lain, dijadikan dalam satu wadah dengan satu sebutan: Modernis atau Pembaharu. Baik itu dibikin oleh ilmuwan Barat yang membuat kategorisasi ngawur-ngawuran itu berdisiplin ilmu sosiologi seperti Kurzman, maupun orang Indonesia alumni Barat yang lebih menekankan filsafat daripada syari’at Islam (di antaranya dengan mempersoalkan tentang siksa di hari kiamat)[6] seperti Dr Harun Nasution, mereka telah membuat sebutan atau kategorisasi yang tidak mewakili isi. Dan itu menjadi fitnah dalam keilmuan, sehingga terjadi kerancuan pemahaman, terutama menyangkut masalah “pembaharuan” atau tajdid. Karena, tajdid itu sendiri adalah direkomendasi oleh Nabi saw bahwa setiap di ujung 100 tahun ada seorang mujaddid (pembaharu) dari umatnya.

إن الله يبعث لهذه الأمة على رأس كل مائة سنة من يجدد لها دينها.( رواه أبو داود).

“Sesungguhnya Allah senantiasa akan membangkitkan untuk umat ini pada setiap akhir seratus tahun (satu abad), orang yang akan memperbarui agamanya.”
(Hadis dari Abu Hurairah, Riwayat Abu Dawud, Al-Hakim, Al-Baihaqi, mereka menshahihkannya, dan juga dishahihkan oleh Al’Iraqi, Ibnu Hajar, As-Suyuthi, dan Nasiruddin Al-Albani).

Kalau orang yang menghalalkan dansa-dansi campur aduk laki perempuan model di Prancis, yaitu Rifa’at At-Thahthawi di Mesir, justru dikategorikan sebagai pembaharu atau mujaddid, bahkan dianggap sebagai pembuka pintu ijtihad, apakah itu bukan fitnah dari segi pemahaman ilmu dan bahkan dari sisi ajaran agama?

Padahal, menurut kitab Mafhuum Tajdiidid Dien oleh Busthami Muhammad Said, pembaharuan yang dimaksud dalam istilah tajdid itu adalah mengembalikan Islam seperti awal mulanya. Abu Sahl Ash-Sha’luki mendefinisikan tajdid dengan menyatakan, “Tajdiduddin ialah mengembalikan Islam seperti pada zaman salaf yang pertama.”[7] Atau menghidupkan sunnah dalam Islam yang sudah mati di masyarakat. Jadi bukannya mengadakan pemahaman-pemahaman baru apalagi yang aneh-aneh yang tak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan adapun menyimpulkan hukum sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah mengenai hal-hal baru, itu namanya ijtihad. Jadi yang diperlukan dalam Islam adalah tajdid dan ijtihad, bukan pembaharuan dalam arti mengakomodasi Barat ataupun adat sesuai selera tanpa memperhatikan landasan Islam.


--------------------------------------------------------------------------------


[1] Dr. Faraj Faudah (Faraq Fuda 1945-1993) adalah wakil dari kelompok sekuler bersama Dr Muhammad Khalaf Allah dalam menghadapi wakil kelompok Islam yaitu Syekh Muhammad Al-Ghazali, Muhammad Al-Ma’mun Al-Hudaibi, dan Dr Muhammad Imarah dalam acara debat Islam dan Sekuler yang kedua, 1992. Debat pertama dilaksanakan 1987M/ 1407H, pihak Islam diwakili Syekh Muhammad Al-Ghazali dan Dr Yusuf Al-Qaradhawi berhadapan dengan pihak sekuler yang diwakili Dr Fuad Zakaria. Kemudian dalam kasus terbunuhnya Dr Faraj Faudah April 1993, Syekh Muhammad Al-Ghazali didatangkan di pengadilan sebagai saksi ahli (hukum Islam), Juli 1993 di Mesir. Kesaksian Syekh Muhammad Al-Ghazali cukup membuat kelabakan pihak sekuler, karena menurut Syekh Muhammad Al-Ghozali, sekuler itu hukumnya adalah keluar dari Islam. (Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, 1994M/ 1415H, halaman 89).

[2] Charles Kurzman (ed), Liberal Islam: A Sourcebook, terejemahan Bahrul Ulum dan Heri Junaidi, Wacana Islam Liberal, Paramadina, Jakarta, 2001, hal xxix.

[3] Menteri Agama RI pertama, dulu bernama Saridi, lalu diubah oleh gurunya –Syekh Ahmad Surkati-- waktu sekolah di Al-Irsyad, menjadi Rasyidi. Lihat buku 70 Tahun HM Rasyidi.

[4] Karena menurut almarhum Dr Peunoh Dali guru besar IAIN Jakarta, Pak Harun Nasution itu adalah orang yang kagum terhadap Barat

[5] . Ali Juraisyah, Asaaliibul Ghazwil Fikri lil 'Aalamil Islami, hal 13.

[6] Ketika Dr Harun Nasution melontarkan pendapatnya yang mempersoalkan adanya siksa di hari akhir kelak, tahun 1985-an, dan dibantah orang di antaranya HM Rasjidi, saya sebagai wartawan menanyakan kepada Dr Quraish Shihab dalam satu perjalanan Jakarta- Palembang. Jawab Dr Quraish Shihab, kalau yang dimaskud siksa itu penganiayaan yaitu kedhaliman Allah terhadap hambaNya, itu ya tidak ada. Tetapi kalau siksa itu adzab sebagai balasan perbuatan dosa, ya tentu saja ada. Jawaban itu tadi agak mengagetkan saya, dan baru sembuh kekagetan saya ketika penggalan akhir dia ucapkan. Namun ada jawaban yang lebih mengagetkan saya. Ketika Porkas (judi lotre nasional masa Soeharto) baru muncul, saya bertanya kepada Prof KH Ibrahim Hosen, LML, Ketua Komisi Fatwa MUI/ Majelis Ulama Indonesia, bagaimana tanggapan beliau tentang dimunculkannnya Porkas oleh pemerintah itu. Sambil siap-siap masuk ke dalam mobil di halaman Masjid Istiqlal Jakarta, beliau berkata: Anda jangan tanya tentang yang kecil-kecil seperti itu. Porkas itu masalah kecil. Tanyakan masalah yang besar kepada orang yang mengatakan bahwa di akherat nanti tidak ada siksa. Itu masalah besar, ucap Pak Ibrahim Hosen sambil masuk ke dalam mobil. Dalam perjalanan waktu, ternyata Porkas yang beliau sebut masalah kecil itu menjadi masalah besar secara nasional selama bertahun-tahun. Masyarakat banyak yang melarat dan gila. Di jalan-jalan banyak orang yang menanyakan nomor lotre kepada orang-orang gila. Di mana-mana banyak sonji alias dukun-dukun tebak angka lotre. Di tempat-tempat yang mereka anggap keramat jadi tempat “peribadahan” pemburu nomor judi lotre yang belakangan namanya diubah jadi SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah). Saya pikir, masalah kecil saja kalau dibiarkan, dan tidak diharamkan oleh MUI sejak awal, tahu-tahu jadi besar dan menjadi musibah aqidah umat Islam se- Indonesia. Apalagi pikiran sesat yang disebut masalah besar oleh Pak Ibrahim Hosen yang menganggap kecil masalah Porkas itu tadi.

[7] Busthami Muhammad Sa’id, Mafhum Tajdiduddin, terjemahan Ibnu Marjan dan Ibadurrahman, Gerakan Pembaruan Agama: Antara Modernisme dan Tajdiduddin, PT Wacana Lazuardi Amanah, Bekasi, cetakan pertama, 1416H/ 1995M, hal 15.
Selengkapnya...